
Jangan Kecewa! Rupiah Menguat Tipis Ke Rp 15.565/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah berhasil mencatatkan penguatan meskipun tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (27/10/2022), uniknya penguatan terjadi setelah dolar AS terpantau kembali menguat namun masih jauh dari level tertingginya.
Mengacu pada data Refinitiv, upiah berhasil menguat pada pembukaan perdagangan sebesar 0,19% ke Rp 15.500/US$. Sayangnya, rupiah berbalik arah dan terkoreksi tipis 0,01% ke Rp 15.570/US$ pada pukul 11:10 WIB.
Pada penutupan perdagangan rupiah tembus ke Rp 15.565/US$ menguat tipis 0,03% di pasar spot. Meskipun sempat mencatatkan penguatan, rupiah masih berada pada level tertingginya dalam 2,5 tahun belakangan ini.
Sementara indeks dolar AS terpantau menguat 0,13% di pasar spot ke posisi 109,84. Namun, posisi tersebut kian menjauhi posisi tertingginya selama dua dekade di 114,7. Ini menandakan bahwa dolar AS mulai melandai dari keperkasaannya. Meski begitu, Mata Uang Garuda hanya mampu catat penguatan tipis pada penutupan perdagangannya.
Fenomena melandainya dolar AS diperkirakan merupakan pergerakan konsolidasi saja sebab potensi bank sentral AS (Federal Reserve/the Fed) masih akan agresif untuk menaikkan suku bunga acuannya guna meredam angka inflasi yang dinilai masih tinggi.
"Menurut kami adalah bahwa secara fundamental, ada faktor-faktor yang masih mendukung dolar AS yakni perbedaan suku bunga, fakta bahwa Fed masih memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan," kata Ahli Strategi Mata Uang Senior di National Australia Bank Rodrigo Catril dikutipReuters.
"Tapi tentu saja dalam waktu dekat, mengingat berapa harganya, kami telah melihat sedikit retracement dalam dolar ... menurut kami adalah bahwa ini sedikit konsolidasi dari pergerakan baru-baru ini daripada perpanjangan penurunan dolar lebih lanjut," tambahnya.
Pasar saat ini masih fokusi menanti rilis data pertumbuhan Amerika Serikat malam ini. Berdasarkan hasilpolling Reuters, PDB AS diprediksi akan tumbuh 2% di kuartal III-2022. Artinya, Amerika Serikat akan lepas dari resesi.
PDB Amerika Serikat sebelumnya mengalami kontraksi dua kuartal beruntun, sehingga secara teknis disebut mengalami resesi.
Pertumbuhan yang terjadi di kuartal III-2022 tidak serta merta akan disambut baik oleh pelaku pasar. Apalagi jika pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari ekspektasi. Sebab, bank sentral AS (The Fed) akan terus agresif menaikkan suku bunga.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 50% suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023. Hal ini masih memicu volatilitas di pasar finansial global, termasuk di dalam negeri.
Namun ada secercah harapan The Fed bakal mengurangi agresivitasnya. Bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) kemarin kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 3,75% tetapi lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 75 basis poin.
SebelumnyaWall Street Journal (WSJ) melaporkan beberapa pejabat The Fed mulai mengisyaratkan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan segera.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum) Next Article Rupiah Anjlok buat Money Changer Antre, Segini Harga Jualnya