Menanti Rilis PDB AS, IHSG Sesi I Optimis Berakhir Menguat!

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
Kamis, 27/10/2022 12:03 WIB
Foto: Karyawan melintas di samping layar elektronik yang menunjukkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (11/10/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona hijau pada penutupan perdagangan sesi I Kamis (27/10/2022), IHSG mencoba mengakhiri tren penurunan 2 hari beruntun. Penguatan IHSG terjadi di tengah melemahnya mayoritas bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan semalam.

Indeks acuan Tanah Air dibuka menguat di posisi 7.043,98 dan ditutup di zona hijau dengan apresiasi 0,42% atau 29,39 poin, ke 7.073,32 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat turun ke Rp 6,74 triliun dengan melibatkan lebih dari 12 miliar saham yang berpindah tangan 742 kali.

Sejak perdagangan dibuka IHSG sudah berada di zona hijau. Selang 5 menit saja, indeks terpantau menghijau 0,48% ke 7.075,92. Pukul 09:53 WIB indeks terpantau masih menguat 0,58% ke 7.084.79 dan konsisten menghijau hingga penutupan perdagangan sesi I.


Level tertinggi berada di 7.104,85 sekitar pukul 09:30 WIB, sementara level terendah berada di 7.060,03 sekitar pukul 10:40 WIB. Mayoritas saham siang ini terpantau mengalami kenaikan.

Statistik perdagangan mencatat ada 317 saham yang menguat dan 169 saham yang mengalami penurunan, serta sisanya sebanyak 202 saham stagnan.

Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya siang ini, yakni mencapai Rp 282,3 miliar. Sedangkan saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 248,5 miliar dan saham PT Transcoal Pacific Tbk (TCPI) di posisi ketiga sebesar Rp 230,3 miliar.

Menguatnya IHSG siang ini terjadi saat mayoritas bursa saham Amerika Serikat (AS) mayoritas ditutup melemah. Kinerja keuangan raksasa teknologi AS yang mengecewakan menjadi sentimen negatif bagi pasar modal. Padahal, sebelumnya ketiga indeks utama mampu mencatat penguatan 3 hari beruntun.

Indeks Nasdaq merosot hingga 2,04% ke 10.970,99 dan S&P 500 minus 0,74% ke 3.830,6. Sementara indeks Dow Jones masih mendatar, tercatat menguat tipis 0,01%.

Selain itu, keringnya pasokan valas di dalam negeri sedang menjadi isu karena memberikan tekanan bagi rupiah. BI sendiri menyebut berkurangnya cadangan devisa karena kebutuhan stabilitas rupiah.

Guna menstabilkan rupiah, BI melakukan triple intervention, di pasar SBN, spot, dan domestic non-deliverable forward(DNDF).

Melihat kondisi saat ini, dengan The Fed yang masih agresif dalam menaikkan suku bunga, capital outflow dari pasar obligasi Indonesia yang besar, kemudian kebutuhan dolar AS di dalam negeri, tentunya membuat tekanan bagi rupiah masih akan besar.

Hal ini berisiko semakin menggerus cadangan devisa. Cadangan devisa makin tiris, kepercayaan investor akan semakin menurun, dan rupiah malah semakin tertekan.

Stabilitas nilai tukar menjadi penting bagi investor asing, sebab risiko kerugian kurs menjadi minim. Jika rupiah terus merosot, tentunya akan berdampak pada risk appetite.

Belum lagi jika melihat dampaknya ke emiten-emiten yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS yang besar, atau yang bahan bakunya harus mengimpor.

Pelemahan rupiah juga akan berkontribusi terhadap kenaikan inflasi, masalah yang dihadapi dunia saat ini. Harga tempe dan tahu misalnya, bisa menjadi lebih mahal sebab bahan bakunya kedelai merupakan komoditas impor. Harga barang-barang elektronik juga akan mengalami kenaikan.

Kemudian beban subsidi energi dan pembayaran bunga utang akan membengkak yang membebani APBN.

Selain isu pelemahan rupiah, pasar juga menanti rilis data pertumbuhan Amerika Serikat malam ini. Berdasarkan hasilpolling Reuters, PDB AS diprediksi akan tumbuh 2% di kuartal III-2022. Artinya, Amerika Serikat akan lepas dari resesi.

PDB Amerika Serikat sebelumnya mengalami kontraksi dua kuartal beruntun, sehingga secara teknis disebut mengalami resesi.

Pertumbuhan yang terjadi di kuartal III-2022 tidak serta merta akan disambut baik oleh pelaku pasar. Apalagi jika pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari ekspektasi. Sebab, bank sentral AS (The Fed) akan terus agresif menaikkan suku bunga.

Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 50% suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023. Hal ini masih memicu volatilitas di pasar finansial global, termasuk di dalam negeri.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aum/aum)