Sempat Galau Berat, IHSG Sesi I Ditutup Melemah Tipis 0,08%!
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir melemah tipis pada penutupan perdagangan sesi I Rabu (26/10/2022), perlemahan terjadi setelah mendapat katalis positif dari bursa saham Amerika Serikat (AS) yang menghijau pada perdagangan Selasa waktu New York.
Indeks acuan Tanah Air dibuka menguat 0,17% di posisi 7.060,33 dan ditutup di zona merah dengan koreksi 0,08% atau 5,39 poin, ke 7.042,99 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat turun ke Rp 6,88 triliun dengan melibatkan lebih dari 13 miliar saham yang berpindah tangan 778 kali.
Sejak perdagangan dibuka IHSG sudah berada di zona hijau. Selang 5 menit kemudian indeks terpantau masih menguat meski tipis 0,05% ke 7.051,63. Pukul 10:05 WIB IHSG melemah 0,01% ke 7.047,48. Namun, pukul 11:00 WIB indeks sempat berbalik arah dan tampak galau menentukan arah geraknya sebelum akhirnya ditarik ke zona merah.
Level tertinggi berada di 7.081,88 sekitar pukul 09:20 WIB, sementara level terendah berada di 7.017,94 pukul 10:30 WIB. Mayoritas saham siang ini terpantau mengalami kenaikan.
Statistik perdagangan mencatat ada 287 saham yang menguat dan 231 saham yang mengalami penurunan, serta sisanya sebanyak 159 saham stagnan.
Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya siang ini, yakni mencapai Rp 484,9 miliar. Sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 407,9 miliar dan saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) di posisi ketiga sebesar Rp 266,5 miliar.
Melemahnya indeks acuan Tanah Air terjadi di tengah menghijaunya kembali bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Selasa kemarin, di mana Wall Street sudah menghijau dalam tiga hari beruntun sejak Jumat pekan lalu.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melesat 1,07% ke posisi 31.836,74, S&P 500 melonjak 1,63% ke 3.859,11 dan Nasdaq Composite melejit 2,25% menjadi 11.199,12.
Meski demikian, Wall Street berisiko tertekan pada perdagangan Rabu waktu setempat akibat laporan kinerja keuangan raksasa teknologi Alphabet yang di bawah ekspektasi.
Laporan kinerja keuangan para raksasa teknologi memang sangat dinanti investor, mengingat bobotnya yang cukup besar.
Tidak hanya Alphabet, Microsoft juga melaporkan kinerja keuangan setelah perdagangan berakhir. Hasilnya sama, di bawah ekspektasi. Alhasil, indeks S&P 500, Dow Jones dan Nasdaq futures (berjangka) langsung turun. Hal ini bisa menjadi sinyal Wall Street akan kembali tertekan.
Dari data ekonomi yang dirilis, indeks keyakinan konsumen menurun pada Oktober setelah mencatat kenaikan 2 bulan beruntun.
Indeks keyakinan konsumen yang dirilis Conference Board tercatat sebesar 102,5, turun tajam dari bulan sebelumnya 107.8.
Dilihat lebih detail, sebanyak 17,5% konsumen yang disurvei mengatakan kondisi bisnis "baik". Persentase tersebut turun dari sebelumnya 20,7%
Selain itu, harga rumah juga mengalami penurunan. The S&P CoreLogic Case-Shiller 20-City House Price Index menunjukkan penurunan sebesar 1,3% pada bulan Agustus, lebih besar dari perkiraan sebesar 0,8%.
Jika penurunan ini terus berlanjut, maka akan menjadi pemberat bagi pertumbuhan ekonomi di 2023 dan kemungkinan akan melandaikan inflasi, menurut Bill Adams, kepala ekonom di Comerica Bank.
Sementara itu, investor di AS akan menanti rilis data pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam pada kuartal III-2022 yang akan dirilis pada Kamis besok.
Berdasarkan hasil polling Reuters, Produk Domestik Bruto (PDB) AS diprediksi akan tumbuh 2% di kuartal III-2022. Artinya, AS akan lepas dari resesi.
Namun, bukan berarti itu adalah titik cerah, sebab ada risiko Negeri Paman Sam akan mengalami double dip recession. Kontraksi PDB dalam 2 kuartal beruntun secara teknis sudah disebut resesi. Namun, resesi di awal tahun ini ringan, bahkan mungkin belum terasa sebab pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat, tetapi yang parah akan datang.
Survei terbaru yang dilakukan Wall Street Journal (WSJ) terhadap para ekonom menunjukkan sebanyak 63% memprediksi AS akan mengalami resesi 12 bulan ke depan. Persentase tersebut naik dari survei bulan Juli sebesar 49%.
Untuk diketahui, double dip recession pernah dialami AS pada 1980an. Resesi pertama terjadi pada kuartal I sampai III-1980, kemudian yang kedua pada kuartal III-1981 dan berlangsung hingga kuartal IV-1982.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)