Rupiah Melesat ke Bawah Rp 15.600/US$, Tapi Bisa Tahan Lama?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melesat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Rabu (26/10/2022). Rupiah kini kembali ke bawah Rp 15.600/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,32% ke Rp 15.570/US$ di pasar spot. Meski demikian pelaku pasar kembali berhati-hati menjelang rilis data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat Kamis besok.
Berdasarkan hasil polling Reuters, PDB AS diprediksi akan tumbuh 2% di kuartal III-2022. Artinya, Amerika Serikat akan lepas dari resesi.
Namun, bukan berarti itu adalah titik cerah, sebab ada risiko Negeri Paman Sam akan mengalami double dip recession. Resesi di awal tahun ini memang ringan, bahkan mungkin belum terasa sebab pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat, tetapi yang parah akan datang.
Survei terbaru yang dilakukan Wall Street Journal terhadap para ekonom menunjukkan sebanyak 63% memprediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi 12 bulan ke depan. Persentase tersebut naik dari survei bulan Juli sebesar 49%.
Double dip recession pernah dialami Amerika Serikat (AS) pada 1980an. Resesi pertama terjadi pada kuartal I sampai III-1980, kemudian yang kedua pada kuartal III-1981 dan berlangsung hingga kuartal IV-1982.
"Ada dua hal buruk yang terjadi saat ini, dan The Fed saat ini memilih yang dampaknya lebih ringan - resesi yang akan diikuti dengan kenaikan tingkat pengangguran atau risiko dari inflasi tinggi yang lebih korosif dan mengakar," kata Diane Swonk, kepala ekonom di KPMG, sebagaimana dilansir Wall Street Journal, Minggu (16/10/2022).
Ketika perekonomian Amerika Serikat masih tumbuh kuat, maka bank sentralnya (The Fed) akan terus agresif menaikkan suku bunga.
Sepanjang tahun ini The Fed sudah menaikkan suku bunga sebesar 300 basis poin, menjadi 3% - 3,25% dan masih akan terus berlanjut.
Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 50% suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.
Resesi juga bisa merembet ke negara lainnya, sebab semua bank sentral sedang agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi. Alhasil, dolar AS yang menyandang status safe haven akan menjadi primadona.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)