Yield-nya Naik Lagi, Investor Kembali Lepas SBN
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Senin (24/10/2022) awal pekan ini, di tengah kabar yang berhembus bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS) berpotensi mengurangi laju kenaikan suku bunga acuan.
Secara mayoritas, investor melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield) di hampir seluruh SBN acuan. Hanya SBN tenor 10 tahun yang masih ramai diburu oleh investor.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark)negara turun 1,5 basis poin (bp) ke posisi 7,637%.
Adapun untuk SBN bertenor 20 tahun cenderung stagnan di level 7,66% pada perdagangan hari ini.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) cenderung melandai pada pagi hari ini waktu AS, di mana investor menanti rilis serangkaian data, terutama data awal dari aktivitas manufaktur dan jasa di Amerika Serikat (AS).
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun turun 3,1 bp menjadi 4,46%. Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun juga melandai 5,4 bp menjadi 4,158%.
Ada kabar yang berhembus, di mana bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) berpotensi memperlambat laju kenaikan suku bunga, setidaknya pada pertemuan Desember hingga awal tahun depan.
Hal ini terjadi setelah Wall Street Journal (WSJ) melaporkan beberapa pejabat The Fed mulai resah akan pengetatan kebijakan moneter yang terus dilakukan dan mereka ingin untuk memperlambat laju kenaikan suku bunga.
"Artikel Wall Street Journal yang menyebutkan laju kenaikan suku bunga sedang dipertimbangkan oleh para pelaku pasar," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dikutip dari Reuters.
Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly mengatakan bahwa The Fed harus menghindari menempatkan ekonomi AS ke dalam "penurunan paksa" dengan pengetatan yang berlebihan. Ia menambahkan bahwa The Fed mendekati titik di mana laju kenaikan suku bunga harus diperlambat.
Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Namun, laju kenaikan suku bunga pada akhir tahun ini dan awal tahun depan bisa saja menurun, apabila anggota The Fed sepakat untuk menurunkan laju kenaikannya.
Meski begitu, pasar sudah memprediksi tingkat suku bunga The Fed hingga Februari 2023. Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.
Selain itu, investor menanti rilis data awal dari aktivitas manufaktur dan jasa AS, yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) versi Global S&P pada periode Oktober 2022.
Data ini juga akan diamati oleh pasar karena apakah inflasi dan pengetatan suku bunga The Fed dapat mempengaruhi akivitas manufaktur dan jasa di Negeri Paman Sam pada bulan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)