
Kecuali Hang Seng-Shanghai, Bursa Asia Dibuka Cerah

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka di zona hijau pada perdagangan Senin (24/10/2022), menyusul bursa saham Amerika Serikat (AS) yang juga menghijau pada Jumat pekan lalu, setelah pejabat bank sentral AS mulai khawatir dengan dampak pengetatan kebijakan moneter.
Indeks Nikkei 225 Jepang dibuka menguat 0,77%, ASX 200 Australia melonjak 1,8%, dan KOSPI Korea Selatan melesat 1,61%.
Namun untuk indeks Hang Seng Hong Kong dibuka ambruk 2,47% dan Shanghai Composite China turun 0,17%.
Sementara untuk bursa saham Singapura pada hari ini tidak dibuka karena sedang libur memperingati Hari Deepavali atau Diwali, hari Festival Cahaya umat Hindu.
Dari Jepang, data awal dari aktivitas manufaktur dan jasa yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) periode Oktober telah dirilis pada hari ini.
Data awal PMI manufaktur versi Jibun Bank periode bulan lalu terpantau turun tipis menjadi 50,7, dari sebelumnya pada September lalu di angka 50,8. Namun, angka ini masih lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 50,5.
Sedangkan, data awal PMI jasa versi Jibun Bank periode bulan lalu terpantau naik menjadi 53, dari sebelumnya pada September lalu di angka 50,8. Tetapi, angka ini masih lebih besar dari perkiraan pasar yang sebesar 51,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.
Bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas menguat terjadi di tengah menghijaunya kembali bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu, setelah selama dua hari sebelumnya sempat terkoreksi.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup terbang 2,47% ke posisi 31.082,56, S&P 500 melejit 2,37% ke 3.752,75 dan Nasdaq Composite melonjak 2,31% menjadi 10.859,72.
Sebelum melesat lebih dari 2%, Wall Street sempat dibuka melemah. Namun, setelah adanya laporan dari Wall Street Journal (WSJ), Wall Street berhasil berbalik arah.
WSJ melaporkan beberapa pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mulai mengisyaratkan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan suku bunga segera.
"Artikel Wall Street Journal yang menyebutkan laju kenaikan suku bunga sedang dipertimbangkan oleh para pelaku pasar," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dikutip dari Reuters.
Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly mengatakan bahwa The Fed harus menghindari menempatkan ekonomi AS ke dalam "penurunan paksa" dengan pengetatan yang berlebihan. Ia menambahkan bahwa The Fed mendekati titik di mana laju kenaikan suku bunga harus diperlambat.
Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Namun, laju kenaikan suku bunga pada akhir tahun ini dan awal tahun depan bisa saja menurun, apabila anggota The Fed sepakat untuk menurunkan laju kenaikannya.
Meski begitu, pasar sudah memprediksi tingkat suku bunga The Fed hingga Februari 2023. Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
