BI Beberkan Alasan Mengapa RI Tak Jadi Pasien IMF

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
21 October 2022 14:25
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti (Tangkapan Layar via Youtube Bank Indonesia)
Foto: Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti (Tangkapan Layar via Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan kondisi ekonomi domestik yang kuat saat ini, membuat Indonesia tidak harus menjadi pasien IMF.

Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menjelaskan, ekonomi Indonesia yang cukup solid tercermin dari realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 yang mencapai 5,44% (year on year).

Destry menjelaskan, dalam pertemuan tahunan IMF dan World Bank di Washington DC, Amerika Serikat (AS) sebanyak 28 negara telah mengajukan permintaan bantuan keuangan dari IMF.

"Nah, bagaimana dengan Indonesia? Alhamdulillah sejauh ini kita masih dalam posisi cukup baik. Di mana perekonomian kita di Kuartal II-2022 kemarin masih bisa tumbuh di atas 5%," jelas Destry dalam peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan, Jumat (21/10/2022).

Bank Indonesia juga bahkan memprediksi sepanjang tahun 2022, perekonomian Indonesia bisa tumbuh pada kisaran 4,5% hingga 5,3%.

Faktor penopang perekonomian Indonesia ke depan, kata Destry akan berasal dari konsumsi, investasi, hingga kinerja ekspor yang tumbuh cukup kuat.

Kendati demikian, Destry tak menampik bahwa kondisi perekonomian global saat ini tengah menghadapi ketidakpastian yang sangat tinggi atau sering disebut VUCA.

"VUCA adalah Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity," jelas Destry.

Gejolak Vuca dominan muncul dari negara maju seperti Amerika Serikat yang tentunya akan mempengaruhi negara maju lainnya termasuk negara berkembang.

Destry mencontohkan, AS misalnya, saat ini tengah menghadapi tekanan inflasi yang sangat tinggi, yang kemudian mengharuskan Bank Sentral AS atau The Fed mengambil kebijakan moneter dengan menaikan suku bunga yang sangat agresif.

"Sehingga akhirnya memberikan tekanan, bukan hanya untuk negaranya sendiri tapi juga untuk negara maju sekitarnya dan juga untuk negara-negara emerging seperti Indonesia," jelasnya.

Kondisi ketidakpastian ini kemudian juga makin diperparah dengan perang antara Rusia dengan Ukraina.

Tantangan ini pun turut memunculkan kebijakan proteksionisme masing-masing negara dan juga kebijakan zero covid policy di China, yang akhirnya membuat ekonomi China juga tertahan pertumbuhannya.

"Kita melihat fenomena terjadinya perlambatan ekonomi secara global dan bahkan diperkirakan akan terjadi resesi di tahun 2023," pungkas Destry.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ikuti Langkah Amerika Cs, IMF Nilai BI Sudah Tepat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular