Kalau Suku Bunga Acuan Naik, Rupiah Bisa Selamat?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia sedang berhadapan dengan ketidakpastian global. Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter diharapkan bisa menjadi katalis dalam menstabilkan pasar keuangan di dalam negeri.
Nilai tukar rupiah terus terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan, Rabu (19/10/2022) rupiah sempat tembus Rp 15.500/US$, terlemah sejak 22 April 2022.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan, Kamis (20/10/2022) dengan melemah 0,23% ke Rp 15.530/US$.
Dalam hitungan detik rupiah langsung merosot 0,48% ke Rp 15.570/US$, dan tertahan di level tersebut hingga pukul 9:05 WIB.
Capital outflow di pasar SBN terus berlangsung, sejak awal Januari hingga 6 Oktober 2022, dana asing kabur dari Indonesia sudah mencapai Rp 167,81 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menilai kenaikan suku bunga acuan menjadi salah satu langkah Bank Indonesia dalam menjaga daya tarik pasar domestik sekaligus menjaga stabilitas Rupiah.
Diharapkan kebijakan BI dan fundamental Indonesia mampu menahan pelemahan Rupiah yang diproyeksi bisa mencapai Rp 15.200/US$ di akhir 2022.
"Kenaikan suku bunga BI diperkirakan berkisar 50 bps untuk menjaga interest rate differential antara suku bunga BI dan The Fed," jelas Josua.
Pasalnya, sejauh ini suku bunga The Fed sudah naik 3%, dari awal tahun ini 0,25% dan sekarang sudah 3,25%.
Pada awal November nanti, kata Josua The Fed diperkirakan masih akan menaikkan suku bunganya sebesar 75 bps dan pada Desember 50 bps.
"Jadi tentunya perlu mengantisipasi, menjaga selisih suku bunga. Karena kalau tidak menaikkan 50 bps di bulan ini, tentunya di awal November kita sudah akan kembali negatif spread," ucapnya.
Pandangan yang sama juga datang dari Kepala Ekonom BCA David Sumual. David menilai BI harus menaikan suku bunga acuan di bulan ini sebesar 50 bps.
"BI masih akan menaikkan suku bunganya. Di Oktober ini 50 bps," jelas David.
Kenaikan 50 bps tersebut kata David untuk meredam gejolak dari faktor internal dan eksternal.
Dari faktor internal saat ini tekanan inflasi masih akan meningkat sampai awal tahun depan pasca kenaikan BBM.
"Juga risiko eksternal, The Fed masih akan menaikan suku bunga di bulan depan (November) 75 bps, jadi masih sangat agresif," jelasnya.
Kenaikan suku bunga BI sebesar 50 bps, menurut David juga penting untuk menjangkar inflasi atau ekspetasi yang bergerak liar.
BI juga harus melihat kondisi pasar keuangan negara berkembang (emerging market) lainnya.
"Kelihatannya Indonesia sama seperti emerging market, masih akan relatif ketat kebijakan moneter sampai akhir tahun depan," jelas David.
"Sehingga kami melihat ada ruang peningkatan BI Rate sampai di akhir tahun," kata David lagi.
Senada, Direktur Eksekutif atau Kepala Ekonomi Segara Research Institute Piter Abdullah menilai saat ini posisi rupiah terhadap dolar AS belum menunjukkan level yang terburuk. Artinya masih ada peluang rupiah untuk melemah.
Oleh karena itu, menurut Piter dalam merespon pelemahan rupiah, BI perlu menaikkan suku bunga acuan minimal 25 bps dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Oktober.
"BI akan segera merespon perkembangan rupiah, dengan menaikkan suku bunga acuan minimal 25 bps pada bulan ini," jelas Piter kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (20/10/2022).
Kendati demikian, apabila dalam perhitungan BI, The Fed masih akan menaikkan suku bunga hingga akhir tahun, menurut Piter BI perlu menaikkan suku bunga lebih dari 25 bps.
Pasalnya, kondisi saat ini spread suku bunga acuan antara BI dan The terlalu dekat, sehingga akan kesulitan bagi investor melirik pasar keuangan Indonesia.
Fed Fund Rate saat ini berada pada 3% hingga 3,25%, sementara suku bunga acuan BI berada pada posisi 4,25%, hanya memiliki spread 100 bps.
"Saya kira ini adalah yang terkecil sepanjang sejarah BI dengan spread yang mepet antara BI dengan The Fed. Ini akan diupayakan oleh BI akan diperlebar dengan BI terlebih dahulu menaikkan suku bunga acuan," jelas Piter.
(cap/mij)