Ramai Asing Kabur Tinggalkan RI, Ini Ada Apa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) menyadari keluarnya aliran modal atau outflow masih terjadi hingga saat ini. Maka dari itu sederet kebijakan dikerahkan agar investor masih bertahan dan kembali masuk ke dalam negeri.
Sejak awal Januari hingga 6 Oktober 2022, dana asing yang kabur dari Indonesia atau keluar dari dalam negeri (outflow) sudah mencapai Rp 167,81 triliun di Pasar Surat Berharga Negara (SBN). Yield SBN 10 tahun meningkat ke level 7,20% pada perdagangan saat itu.
"Kami melakukan pembelian dan penjualan SBN, sehingga yield SBN menarik dari investor luar negeri, sehingga tak membebani fiskal dan mendukung fiskal dari pemerintah," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI, Rabu (19/10/2022)
Langkah yang dilakukan BI ini dikenal dengan sebutan twist operation, di mana BI menjual Surat Berharga Negara (SBN) tenor pendek, namun membeli untuk tenor panjang. Dengan begitu yield SBN akan menjadi kompetitif.
"Kita lakukan operasi pasar di SBN untuk memasikan yield SBN menarik dari investor luar negeri, namun tak membenani biaya fiskal dari APBN," paparnya.
Hanif Mantiq, Chief Marketing Officer · STAR Asset Management, mengungkapkan situasi outflow memang tidak bisa dihindari. Indonesia sama seperti negara berkembang lainnya yang terimbas arah perubahan moneter oleh negara maju. Salah satunya Amerika Serikat (AS) yang agresif menaikkan suku bunga acuan untuk meredam lonjakan inflasi.
Laju inflasi tahunan AS sudah meningkat lebih dari 2% sejak April 2021 dan terus meningkat hingga 9,06% pada Juni 2022. Laju inflasi Juni merupakan yang tertinggi sejak 1981. Namun pada September 2022, inflasi AS turun hingga 8,3%.
Sementara Bank Sentral AS The Fed sudah menaikkan bunga acuan empat kali selama 2022: Mei 0,5%, serta Juni dan Juli masing-masing 0,75%, serta Agustus 0,75%. Suku bunga acuan (Fed funds rate) saat ini di kisaran 3%-3,25%. The Fed masih akan terus agresif ke depan sampai inflasi jinak.
"Indonesia sangat terpengaruh kebijakan bank sentral lain," kata Hanif dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.
(mij/mij)