Ada Potensi Suku Bunga Acuan BI Naik 75 Bps, Ini Alasannya

Cantika Adinda Putri & Hadijah Alaydrus, CNBC Indonesia
19 October 2022 09:50
FILE PHOTO: People walk in the courtyard of Indonesia's central bank, Bank Indonesia, in Jakarta, Indonesia September 22, 2016.REUTERS/Iqro Rinaldi/File Photo
Foto: REUTERS/Iqro Rinaldi

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan eksternal akibat 'strong dollar' yang memicu anjloknya rupiah hingga kaburnya investor asing akan memaksa Bank Indonesia (BI) bersikap 'hawkish' dalam kebijakan moneternya.

Rapat Dewan Gubernur BI pada 19-20 Oktober 2022, diyakini akan memutuskan kenaikan lanjutan suku bunga acuan. Sebelumnya BI telah menaikkan suku bunga sebesar 50 basis points (bps) menjadi 4,25% pada September 2022.

Kali ini, proyeksi paling ekstrem, BI akan mempertimbangkan kenaikan 75 bps, meskipun kecenderungan mengarah kepada dosis 50 bps. Hal tersebut diungkapkan dalam laporan Bahana Sekuritas yang disusun oleh Kepala Ekonom Putera Satria Sambijantoro dan timnya.

"Kenaikan suku bunga 75 bps secara aktif dipertimbangkan dalam pertemuan itu (RDG). Walaupun, pejabat BI akhirnya menyelesaikan dengan kenaikan suku bunga 50 bps, banyak yang sebenarnya condong ke arah pergerakan 75 bps daripada hanya 25 bps, karena mereka khawatir tentang penyempitan perbedaan hasil dengan AS dan potensi kenaikan kuat dalam inflasi inti domestik," tulis Bahana Sekuritas, dalam laporannya, Rabu (19/10/2022).

Dengan demikian, kecenderungan kenaikan 50bps cukup kuat sesuai konsensus ekonom. Namun, Bahana melihat dosis 75 bps menjadi 5,0% dapat dilakukan jika BI ingin menanamkan kepercayaan ke pasar.

Selain itu, BI tertinggal di belakang bank sentral lainnya. Kondisi saat ini, likuiditas dolar perlahan susut di pasar. Jelas ini masa-masa sulit setelah windfall profit dari kenaikan harga komoditas reda.

Sejalan dengan itu, Gubernur Perry Warjiyo telah memberikan sinyal bahwa kenaikan suku bunga yang dilakukan BI akan bersifat 'frontloading'. Ini jelas membuka kemungkinan kenaikan yang cukup tinggi dari suku bunga acuan, BI - 7 Day Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) bulan Oktober ini.

"Bagi BI, ada alasan untuk agresif. Aituasi umum di bulan Oktober tidak diragukan lagi kurang kondusif dibandingkan dengan dua bulan sebelumnya, dengan imbal hasil global meningkat tajam sementara tekanan jual terhadap rupiah semakin meningkat," tulis Satria, Rami dan Drewya.

Bahana melihat investor tidak terlalu antusias dengan sikap keengganan BI untuk menaikkan suku bunga terdahulu dan preferensi untuk "Operation Twist" untuk mendukung pasar obligasi.

"Karena BI tertinggal dari bank sentral lainnya, pada kuartal terakhir tahun ini akan memberikan BI kesempatan untuk meningkatkan kredibilitas pasarnya," ungkap Bahana.

Dalam hal ini, BI dapat belajar dari Brasil, yang ketahanan pasarnya dikaitkan dengan keunggulan bank sentralnya.

Di tengah meningkatnya inflasi global, Bahana menilai lebih masuk akal untuk menaikkan suku bunga sekarang untuk mendukung rupiah, karena memiliki mata uang yang kuat pasti akan membantu menjinakkan inflasi impor.

Sebelumnya, ekonom senior dan pengajar di Universitas Indonesia (UI) Chatib Basri mengungkapkan bahwa BI sebagai otoritas moneter perlu menjaga tidak hanya inflasi, namun juga harus menghitung apa yang akan terjadi di AS.

Paritas atau perbandingan tingkat suku bunga AS dan suku bunga di dalam negeri harus dijaga. Karena saat ini, kata Chatib paritas antara Fed Fund Rate (FFR) dengan BI menjadi salah satu yang terendah dalam sejarah.

"Sehingga bagaimanapun jika kenaikan suku bunga terjadi di AS, BI perlu melakukan pengetatan (tightening)," jelasnya.

The Fed, menurut Chatib, masih akan bertarung menaikkan suku bunga pada pertemuan berikutnya, November dan Desember, masing-masing dengan proyeksi kenaikan suku bunga 75 bps dan 50 bps.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mau Inflasi Rendah? BI: Suku Bunga Harus Naik Lebih Tinggi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular