Ekonomi China Dalam 'Kegelapan', Rupiah Malah Menguat

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 October 2022 09:08
Pekerja memperlihatkan uang dolar di salah satu gerai money changer di Jakarta, Senin (4/7/2022).  (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Selasa (18/10/2022). Meski demikian, tekanan bertubi-tubi datang dari eksternal yang membuat perjuangan rupiah untuk mempertahankan penguatan menjadi berat.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,23% ke Rp 15.450/US$. Apreasiasi rupiah kemudian terpangkas menjadi 0,13% ke Rp 15.465/US$ pada pukul 9:05 WIB. 

Pelaku pasar kini menanti pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) Kamis nanti.

Dengan bank sentral AS (The Fed) yang diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4% pada bulan depan, pasar tentunya akan melihat apakah BI juga akan kembali menaikkan 50 basis poin menjadi 4,75% dua hari mendatang.

Kenaikan tersebut menjadi perlu saat ini melihat nilai tukar rupiah yang terus terpuruk melawan dolar AS. Jika BI menaikkan di bawah 50 basis poin, atau tidak menaikkan suku bunga, ada risiko rupiah akan merosot lagi.

Kenaikan suku bunga The Fed yang membuat dolar AS perkasa menjadi penekan utama rupiah. Selain itu, isu resesi juga membuat daya tarik dolar AS sebagai aset safe haven semakin meningkat.

Kini, pelambatan ekonomi China turun menguntungkan dolar AS. Di sisi lain, justru memberikan tekanan bagi rupiah.

China, negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, diperkirakan akan mengalami tahun yang berat.

Survei terbaru dari Reuters yang melibatkan 40 ekonom menunjukkan perekonomian China diperkirakan tumbuh 3,2% di 2022, jauh di bawah target pemerintah 5,5%.

Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976. Ekonomi China sedang dalam kondisi 'tergelap' dalam nyaris 50 tahun. 

Ekonom Senior Chatib Basri juga mengatakan Indonesia lebih perlu khawatir dengan China ketimbang Amerika Serikat.

"Saya itu sebetulnya, lebih khawatir dengan (dampak) ekonomi China, dibandingkan dengan ekonomi AS terhadap kita karena kalau China kena itu ekspor kita (Indonesia) kena beneran," kata Chatib.

Pernyataan Chatib tersebut langsung terbukti, ekspor ke China mengalami penurunan, meski tipis saja.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor ke China pada September sebesar US$ 6,156 miliar, turun dari bulan sebelumnya US$ 6,162 milar, atau turun 0,1% saja.

Meski demikian, jika terus berlanjut tentunya akan berdampak buruk mengingat China adalah pasar ekspor terbesar Indonesia. Pada periode Januari - September nilainya mencapai US$ 45,238 miliar, atau nyaris 22% dari total ekspor Indonesia.

Perekonomian Indonesia juga menjadi terancam mengalami pelambatan. Sebab jika dilihat sejak tahun 2000, pergerakan PDB Indonesia cenderung mengikuti China.

Maklum saja, China bukan hanya pasar ekspor terbesar Indonesia, tetapi juga sebaliknya. Impor dari negara pimpinan Presiden Xi Jinping ini tercatat nyaris 34% dari total impor Indonesia, paling besar dibandingkan negara lainnya.

China menjadi mitra strategis Indonesia, pelambatan ekonominya akan berdampak buruk ke dalam negeri.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular