
OJK Beri Sinyal Relaksasi Kredit Diperpanjang Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku masih terus membahas soal restrukturisasi kredit akan diperpanjang atau tidak. Sampai saat ini keputusan belum final.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menjelaskan, melihat kondisi perekonomian saat ini membuat pihaknya masih mengkalkulasi dan mempertimbangkan kebijakan restrukturisasi.
Mengingat saat ini perekonomian global dipenuhi dengan ketidakpastian dan kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yang harus diperketat, yakni mengembalikan defisit APBN kembali di bawah 3%.
"Pendanaan Bank Indonesia (BI) untuk APBN selama 2020, 2021, 2022, tahun 2023 BI tidak boleh lagi mendanai APBN, terkait relaksasi OJK untuk kredit restrukturisasi sedang mengolah data," jelas Mirza.
Dari data yang dihimpun OJK saat ini, kata Mirza berbagai sektor ekonomi telah mengalami pemulihan atau perbaikan, di berbagai daerah di Indonesia.
Pun jumlah restrukturisasi kredit di Agustus 2022 tercatat mencapai Rp 543 triliun, lebih rendah dibandingkan pada masa awal-awal pandemi Covid-19.
"Kredit restrukturisasi sudah turun dari level tertinggi pada saat itu Rp 850 triliun di Oktober 2020. Dan jumlah debitur restrukturisasi sudah menurun sekarang jumlah debitur restrukturisasi 2,75 juta," jelas Mirza.
Oleh karena itu, kata Mirza restrukturisasi kredit kemungkinan akan diperpanjang, namun hanya di berbagai sektor dan di kawasan Indonesia tertentu.
"Ini masih kita lihat, apakah nantinya dibutuhkan perpanjangan relaksasi untuk beberapa sektor dan daerah. Arahnya, lebih ke arah situ, finalnya belum," kata Mirza lagi.
Untuk diketahui, OJK mengeluarkan kebijakan restrukturisasi. Kebijakan ini telah berlaku sejak Maret 2020 dan akan berakhir Maret 2023.
Dengan adanya restrukturisasi, secara otomatis tingkat NPL tetap terjaga karena debitur memiliki ruang bernapas untuk mengatur kreditnya.
Bahkan, OJK mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan subsidi bunga, penjaminan UMKM dan korporasi.
Ekonom senior Chatib Basri yang pernah menjabat sebagai menteri keuangan di era SBY mengkhawatirkan ketika OJK melepas restrukturisasi pada 2023, maka NPL akan naik.
"Kan di 2023, OJK akan selesai relaksasi...NPL-nya sekarang rendah sebesar 4%, tapi loan risk-nya tinggi 18%, kredit yang dianggap berisiko," ujar Chatib dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, dikutip Senin (17/10/2022).
"Kalau benar-benar diterapkan normalisasi, mungkin NPL-nya akan naik," tambah Chatib.
Dikutip dari data OJK dan Bank Mandiri, jumlah loan at risk (LAR) per Juli 2022 telah turun sebesar Rp 192 triliun sehingga total saat ini menjadi Rp 1.059 triliun.
Meskipun turun, nilainya masih cukup besar dibandingkan posisi April 2020, sebesar Rp 751 triliun. Sejalan dengan penurunan LAR, posisi rasio restrukturisasi kredit juga turun menjadi 9,10% atau nominalnya Rp 560 triliun, lebih baik dari posisi Desember 2021.
Namun, masih lebih tinggi dibandingkan rasio April 2020, sebesar 3,62%.
Dengan tingkat NPL yang tinggi, perbankan akan selektif menyalurkan kredit ke depannya. Saat ini, di tengah tren penurunan harga obligasi, Chatib melihat bank akan enggan menjual kepemilikan obligasinya.
(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bakrie & Brothers (BNBR) Restrukturisasi Utang Rp13,23 T