Kacau! Isu Resesi di 2023 Bikin Rupiah Dekati Rp 15.400/US$

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
12 October 2022 15:13
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah ditutup stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (12/10/2022) di tengah isu resesi yang semakin nyaring terdengar sehingga membuat dolar AS kian perkasa.

Mengacu pada data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan, selang 2 menit kemudian mata uang Garuda langsung melemah 0,1% ke Rp 15.370/US$. Pada pukul 11:00 WIB rupiah sempat terkoreksi nyaris mendekati level 15.400/US$, yakni sebanyak 0,16% ke Rp 15.380/US$.

Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 15.355/US$ sama seperti penutupan perdagangan hari sebelumnya di pasar spot, posisi ini masih terlemah dalam 2,5 tahun terakhir, tepatnya sejak 30 April 2020.

Berbagai proyeksi 'mengerikan' dari ekonomi global ke depan sukses menjadi berita buruk tahun ini yang kemungkinan akan membawa ekonomi AS bahkan ekonomi global terjun ke jurang resesi tahun 2023 mendatang.

Perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung mereda dan justru akan memasuki babak baru menjadi pemicu meroketnya harga minyak mentah dunia, gas alam, hingga batu bara. Alhasil, inflasi pada sektor energi menjadi penopang tingginya inflasi yang kemudian menyebar ke berbagai sektor ekonomi.

Peringatan ancaman resesi yang dikeluarkan JPMorgan dan Nomura juga menjadi cerminan bagaimana ketidakpastian global masih akan membayang ke depan.

Sementara itu,IMF memangkas pertumbuhan global pada 2023 menjadi 2,7% dari proyeksi di Juli sebesar 2,9%. Namun, IMF masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan global untuk 2022 di angka 3,2%. Pertumbuhan global sudah direvisi sebanyak tiga kali yakni pada April, Juli, dan Oktober.

Pemangkasan proyeksi dilakukan menyusul masih panasnya perang Rusia-Ukraina, perlambatan ekonomi China, lonjakan harga energi dan pangan, melambungnya inflasi serta tren kenaikan suku bunga acuan global. IMF juga mengingatkan jika sepertiga perekonomian dunia akan mengalami kontraksi pada tahun depan.

"Tiga kawasan dengan perekonomian terbesar yaitu AS, China, dan Eropa akan terus melambat. Yang terburuk belumlah terjadi sekarang ini karena banyak dari warga dunia yang akan merasakan resesi pada 2023," tutur kepala ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas, dalam konferensi pers, Selasa malam waktu AS.

Sementara itu, Presiden bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Cleveland Loretta Mester menilai bahwa dengan sejumlah besar kenaikan suku bunga tahun ini, Fed belum dapat mengendalikan lonjakan inflasi dan perlu terus maju dengan pengetatan.

"Inflasi yang sangat tinggi dan persisten yang tidak dapat diterima tetap menjadi tantangan utama yang dihadapi ekonomi AS. Meskipun ada beberapa moderasi di sisi permintaan ekonomi dan tanda-tanda perbaikan kondisi sisi penawaran, tapi belum ada kemajuan pada inflasi," kata Mester dalam pidato yang diberikan sebelum pertemuan yang diadakan oleh Economic Club of New York.

Mester memproyeksikan bahwa inflasi akan turun menjadi 3,5% pada tahun depan dan kembali ke target 2% Fed pada tahun 2025.

Dengan kekhawatiran ini kemudian yang memunculkan sentimen negatif bagi pasar keuangan global sehingga permintaan akan dolar AS meningkat.

Sejatinya, ketika kondisi ekonomi sedang memburuk, dolar AS diuntungkan dengan kegunaannya sebagai mata uang dengan nilai lindung atausafe haven. Dengan ini, Mata Uang Garuda pun tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aum/aum) Next Article Dolar AS Terlalu Kuat, Rupiah Lagi-Lagi Tertekan...

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular