OPEC+ Bikin Ulah, IHSG Sesi I Berakhir Ambrol Lagi

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
07 October 2022 11:43
Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di terkoreksi pada penutupan perdagangan sesi I Jumat (7/10/2022), di tengah kekhawatiran inflasi yang kembali meninggi karena OPEC+ memutuskan untuk memangkasi produksi, ini tentunya akan membatasi pasokan minyak mentah di pasar yang memang sudah ketat.

Indeks Acuan Tanah Air dibuka melemah 0,27% di posisi 7.057,79 dan ditutup di zona merah dengan koreksi 0,65% atau 46,1 poin, ke 7.030,52 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat turun 6,95 triliun dengan melibatkan lebih dari 16 miliar saham yang berpindah tangan 736 kali.

Sejak perdagangan dibuka, IHSG sudah berada di zona merah. Selang 6 menit saja, IHSG melemah 0,07% ke 7.071,68. Pukul 10:24 WIB indeks terpantau masih berada di zona merah dengan koreksi 0,34% di 7.052,64 dan konsisten melemah hingga penutupan perdagangan sesi I siang ini.

Level tertinggi berada di posisi 7.081,02 sesaat setelah perdagangan dibuka, sementara level terendah berada di 7.016,78 sekitar pukul 11:10 WIB. Mayoritas saham siang ini terpantau mengalami penurunan.

Statistik perdagangan mencatat ada 335 saham yang melemah dan 183 saham yang mengalami kenaikan dan sisanya sebanyak 162 saham stagnan.

Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya siang ini, yakni mencapai Rp 784,5 miliar. Sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 356,8 miliar dan saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) di posisi ketiga sebesar Rp 339,5 miliar.

Pada perdagangan akhir pekan ini, IHSG memang sulit untuk kembali menghijau karena masih disebabkan oleh volatilitas pasar keuangan global dan arus dana asing yang mengalir keluar. Kondisi ini juga tak lepas dari berbagai sentimen negatif yang masih menyelimuti pasar.

Bursa Saham Amerika Serikat (AS) ditutup ambrol lagi pada perdagangan kemarin. Indeks Dow Jones ditutup ambles 1,15% ke 29.926,94 dan S&P 500 jatuh 1,02% ke 3.744,52. Sementara Nasdaq drop 0,68% ke 11.073,31. Padahal, ketiga indeks utama sempat membuka perdagangan di zona hijau.

Kekhawatiran akan keagresifan Fed dan kenaikan yield obligasi AS, tampaknya menjadi pemicu ambruknya bursa AS. Yield obligasi tenor 10 tahun menyentuh 3,8%, sementarayieldobligasi tenor 2 tahun yang lebih sensitif terhadap kenaikan suku bunga naik hingga 4,2%. Padahal, di awal pekan, yield obligasi tenor 10 tahun sempat turun ke 3,6%.

Kenaikan pada yield obligasi menandakan bahwa investor sedang memburu aset investasi yang lebih aman karena situasi ekonomi tidak pasti.

Investor global masih menantikan rilis data pada hari ini, terutama data yang akan menunjukkan bagaimana situasi pasar tenaga kerja pada September 2022. Ini akan menjadi informasi penting The Fed untuk langkah ke depan terkait kenaikan suku bunganya.

"Sekali lagi, investor mencari kabar buruk untuk menjadi kabar baik, bahkan jika laporan September lebih rendah dari yang diharapkan, pertumbuhan upah kemungkinan akan bertahan dan tidak membuat Fed agresif," tutur Analis Wolfe Research Chris Senyek dikutip CNBC International.

Sementara itu, sentimen negatif turut menyelimuti pasar di mana perkumpulan negara-negara produsen minyak mentah dunia yang tergabung dalam OPEC+ telah menyetujui untuk memangkas produksi besar-besaran.

OPEC+ menyetujui untuk mengurangi produksi sebesar 2 juta barel per hari dari target produksinya pada Agustus 2022 yang akan dimulai pada November 2022. Hal tersebut menjadi pengurangan produksi tertajam sejak 2020.

Analis Reuters memprediksikan jumlah produksi dari OPEC+, yang merupakan sebuah organisasi yang dibentuk oleh negara-negara OPEC dan non-OPEC, akan turun menjadi 41,86 juta barel per hari pada November dari 43,86 juta ton per hari.

Secara rinci, produksi minyak mentah dari 10 negara yang tergabung dalam OPEC pada November mendatang akan turun dari 26,69 juta barel per hari menjadi 25,42 juta barel per hari.

Langkah ini tentunya akan membatasi pasokan minyak mentah di pasar yang memang sudah ketat. Keputusan negara OPEC tersebut dapat membuat harga minyak mentah reli kembali ke kisaran US$ 100 per barel, dengan asumsi tidak ada serangan besar Covid -19 secara global dan The Fed tidak menjadi hawkish secara tidak terduga.

Persediaan minyak mentah yang semakin ketat tentunya akan menambah beban pada angka inflasi hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Kenaikan harga tersebut, ke depannya akan mempengaruhi harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya non-subsidi. Hal ini tentunya patut diwaspadai karena akan memicu lonjakan inflasi. Apalagi, Indonesia merupakan net importir minyak mentah.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aum/aum) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular