Mantan Menkeu Bongkar 3 Pemicu Fenomena 'Strong Dollar'

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
06 October 2022 15:00
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekad bulat bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve untuk menekan laju inflasi di dalam negeri dengan menaikkan suku bunga menimbulkan rasa sakit yang mendalam di negara-negara lain.

Pasalnya, kebijakan ini menimbulkan fenomena 'strong dollar'. Alhasil, harga impor dan utang dalam denominasi dolar melambung.

Dolar yang kuat semakin melilit Argentina, Mesir dan Kenya dengan utang. Bahkan, 'strong dollar' mencegah investasi asing masuk ke pasar negara berkembang seperti India dan Korea Selatan.

"Untuk seluruh dunia, ini adalah situasi yang tidak menguntungkan," kata Eswar Prasad, Profesor Ekonomi di Cornell University, dikutip dari The New York Times, Kamis (10/6/2022).

Pada saat yang sama, katanya, The Fed tidak punya pilihan selain bertindak agresif untuk mengendalikan inflasi.

"Setiap penundaan tindakan dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk," sambung Prasad.

Mata uang yang rapuh terkadang dapat berfungsi sebagai "mekanisme penyangga" sehingga kondisi ini menyebabkan negara-negara mengimpor lebih sedikit dan mengekspor lebih banyak, kata Prasad.

Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk saat ini. Prasad tidak melihat manfaat dari pertumbuhan yang lebih kuat dari ekspor.

Hal ini sejalan dengan penilaian mantan menteri keuangan Chatib Basri. Chatib mengemukakan ada 3 penyebab yang memicu fenomena strong dollar.

Pertama adalah pertumbuhan ekonomi AS yang slowdown masih lebih baik jika dibandingkan Eropa.

"Orang akan selalu melihat relative growth, kalau growth suatu negara relatif lebih baik dari negara lain, investor akan prefer taruh (aset) di situ dibandingkan di negara lain. Itu yang bikin nilai tukarnya (dolar AS) masih akan kuat," ujar Chatib dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Rabu malam (6/10/2022).

Kedua, tidak banyak pihak yang sadar, AS sudah menjadi net exporter komoditas energi saat ini. Jika harga komoditas energi naik, otomatis dolar akan terkerek naik.

Ketiga, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan menarik dolar di pasar global kembali ke AS.

"Jadi dengan begini, kita akan berhadapan dengan strong dollar. Kalau strong dollar terjadi akan ada efek yang disebut sebagai balance sheet effect atau efek neraca," kata Chatib.

Perusahaan-perusahaan di dalam negeri dengan utang dalam dolar akan mengalami peningkatan beban karena utangnya menjadi mahal. Ketika beban utang mahal, porsi investasi akan turun.

"Kalau porsi investasi turun, dia kontraktif," tegasnya.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sampai Kapan Dolar AS Perkasa? Ini Jawaban Chatib Basri!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular