Dolar AS Tak Berdaya, Rupiah Sukses ke Bawah Rp 15.200/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) sedang dalam tren menurun. Alhasil, rupiah mampu mencatat penguatan cukup tajam pada perdagangan Rabu (5/9/2022).
Melansir data Refinitiv, rupiah langsung melesat 0,62% ke Rp 15.150/US$ begitu perdagangan dibuka. Penguatan rupiah sempat terpangkas hingga menyentuh Rp 15.215/US$.
Di akhir perdagangan, rupiah berada di Rp 15.190/US$, menguat 0,36% di pasar spot.
Indeks dolar AS jeblok hingga 1,5% ke 110.06 pada perdagangan Selasa kemarin. Dalam 5 hari perdagangan merosot sebanyak 4 kali dengan total 3,5%.
Jebloknya indeks dolar AS mengikuti pergerakan yield obligasi (Treasury) Amerika Serikat. Banyak analis melihat Penurunan keduanya terkait ekspektasi atau pandangan suku bunga Th Fed (bank sentral AS).
"Kita melihat penurunan ekspektasi kenaikan suku bunga di seluruh pasar finansial setelah bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) menaikkan suku bunga 25 basis poin, lebih rendah dari ekspektasi 50 basis poin," kata Karl Schamotta, kepala strategi pasar di Corpay Toronto, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (4/10/2022).
Ed Yardeni, veteran pemain pasar, memperkirakan The Fed hanya akan menaikkan suku bunga satu kali lagi, pada November. Setelahnya, bank sentral pimpinan Jerome Powell ini akan menghentikan periode kenaikan suku bunga akibat dolar AS yang terlalu perkasa.
"Saya rasa The Fed merusak sesuatu. Apa yang rusak adalah dolar AS karena terlalu kuat. Melesatnya dolar AS dikaitkan dengan krisis finansial global. Kita harus memiliki pandangan global dalam hal ini, kebijakan moneter yang ketat di AS memiliki dampak yang luar biasa ke seluruh dunia, terutama di negara berkembang," kata Yardani, sebagaimana dikutip Reuters.
Kebijakan moneter The Fed yang terlalu ketat akan mengacaukan stabilitas finansial, dan para pejabatnya dikatakan harus menyadari hal tersebut.
"Saya pikir mereka akan menaikkan suku bunga sekali lagi di bulan November, sebab stabilitas finansial akan menjadi perhatian mereka," ujar Yardani.
Sementara itu dari dalam negeri, ekspansi sektor manufaktur masih menjadi sentimen positif.
S&P Global awal pekan ini melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia yang dilihat dari purchasing manager's index (PMI) mengalami peningkatan signifikan menjadi 53,7 September lalu, dari bulan sebelumnya 51,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atasnya adalah ekspansi, di bawahnya berarti kontraksi.
Sektor manufakatur Indonesia kini sudah berekspansi dalam 13 bulan beruntun, dan menjadi kabar baik saat negara-negara lain terutama di Barat menghadapi isu resesi.
"Survei terbaru konsisten dengan perkembangan terkuat kesehatan sektor manufaktur Indonesia sejak Januari. Kondisi demand yang kuat membantu membawa pesanan baru ke level tertinggi dalam hampir satu tahun terakhir," kata Laura Denman, ekonom di S&P Global Market Intelligence.
"Perbaikan kondisi permintaan ini mengarah pada kenaikan produksi yang lebih kuat, ketenagakerjaan dan aktivitas pembelian selama bulan September. Berita menggembirakan lain terkait data bulan September adalah tekanan inflasi yang terus berkurang. Inflasi biaya input dan harga jual berkurang masing-masing hingga di posisi terendah dalam 20 bulan dan 15 bulan," tambah Denman.
Ketika sektor manufaktur terus berkespansi, maka bisa menjadi garansi Indonesia tak akan mengalami resesi. Sebab sektor manufaktur merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan lapangan usaha. Kontribusinya nyaris mencapai 20%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Jurus Perry Warjiyo & BI Jaga Rupiah Dari Amukan Dolar AS
(pap/pap)