
Gak Cuma IHSG, Mayoritas Bursa Asia Juga Merah Lagi...

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup di zona merah pada perdagangan Kamis (29/9/2022), setelah pada awal perdagangan hari ini sempat dibuka di zona hijau.
Hanya Indeks Nikkei 225 Jepang, ASX 200 Australia, dan KOSPI Korea Selatan yang ditutup di zona hijau pada hari ini. Nikkei melesat 0,95% ke posisi 26.422,05, ASX 200 melonjak 1,44% ke 6.555, dan KOSPI naik tipis 0,08% menjadi 2.170,93.
Sementara sisanya kembali berakhir di zona merah. Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup melemah 0,49% ke posisi 17.165,87, Shanghai Composite China terkoreksi 0,13% ke 3.041,2, Straits Times Singapura turun tipis 0,04% ke 3.115,08, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terdepresiasi 0,58% menjadi 7.036,198.
Dari China, bank sentral (People Bank of China/PBoC) telah memperingatkan kepada pelaku pasar agar tidak bertaruh pada yuan di kedua arah, setelah mata uang Negara Panda tersebut terkoreksi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga menyentuh level terendahnya dalam 14 tahun terakhir.
"Jangan bertaruh pada apresiasi sepihak atau depresiasi nilai tukar renminbi," kata PBoC dalam sebuah pernyataan China di situs webnya, dikutip dari CNBC International.
Itu berdasarkan pembacaan pidato oleh Wakil Gubernur PBoC, Liu Guoqiang pada pertemuan konferensi video tentang valuta asing.
Pada perdagangan Rabu kemarin, yuan terkoreksi 0,72% ke posisi CNY 7,228/US$, menjadi yang terendah sejak tahun 2008.
Terkoreksinya mata uang yuan China dipicu oleh keperkasaan dolar AS di pasar spot. Memang dalam beberapa hari terakhir, dolar AS sedang perkasa, sehingga tak hanya yuan saja yang menjadi korban keganasan dolar AS, tetapi ada yen Jepang, poundsterling Inggris, dan euro.
Ambruknya poundsterling membuat bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) menangguhkan rencana awal penjualan emasnya pekan depan dan mulai membeli obligasinya untuk menenangkan kekacauan pasar dan menstabilkan kembali poundsterling.
Namun, poundsterling kembali melemah 1% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ke posisi GBP 1,078/US$.
Kabar langkah BoE yang akan membeli obligasinya juga sempat direspons positif oleh pelaku pasar di global. Namun, respons positif pelaku pasar tersebut hanya bersifat sementara.
Dolar AS memang sedang sangat perkasa. Pada perdagangan hari ini, indeks yang mengukur sang greenback juga masih cukup tinggi, yakni di 113,23.
Keperkasaan dolar AS tersebut ditopang oleh sikap agresif bank sentral AS (Federal Reserve/the Fed) untuk meredam inflasi dengan menaikkan suku bunga acuannya.
Di sepanjang tahun ini, The Fed tercatat sudah menaikkan suku bunga hingga 300 basis poin (bp) dan mengirim tingkat suku bunga menjadi 3-3,25%. Keagresifan The Fed kian meningkatkan isu resesi global.
Padahal secara teknis, negara dengan perekonomian terbesar di dunia seperti AS sudah mengalami resesi karena pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi selama dua kuartal beruntun tahun ini.
US Bureau of Economic Analysis melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal I-2022, terkontraksi 1,6% (quarter-to-quarter/qtq). Lalu pada kuartal II-2022, ekonomi Negeri Paman Sam kembali terkontraksi 0,9% qtq.
Meski begitu, The Fed diprediksikan akan terus menaikkan suku bunga acuannya hingga Februari 2023 untuk menekan angka inflasi kembali ke target The Fed di 2%.
Sementara itu dari pasar obligasi pemerintah AS, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) mundur dari level tertingginya dalam lebih dari satu dekade pada perdagangan Rabu kemarin, meredakan kekhawatiran bahwa suku bunga yang lebih tinggi dapat mencekik ekonomi.
Yield Treasury acuan (benchmark) tenor 10 tahun mengakhiri perdagangan kemarin di sekitar 3,7%, setelah sebelumnya menembus di atas 4% untuk pertama kalinya sejak 2008.
Ada kekhawatiran investor belum memperhitungkan perlambatan pendapatan dan dampak dari kenaikan suku bunga The Fed.
Dengan pasar yang terus bearish sejak Juli lalu, para analis bahkan memprediksi kerugian investasi di pasar saham para investor ritel itu bisa mencapai US$ 9,5 sampai US$ 10 triliun.
Sementara para ekonom mengatakan akan ada dampak ekonomi lanjutan dari kerugian tersebut, yakni menambah tekanan pada dompet warga AS, di mana bisa berdampak pada pengurangan konsumsi, pinjaman hingga investasi.
Mark Zandi, kepala ekonom Moody's Analytics, mengatakan kerugian tersebut bahkan dapat mengurangi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil AS hampir 0,2% pada tahun mendatang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
