Rupiah PHP, Menguat Tapi Nggak Tembus di Bawah Rp 15.000/US$

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
29 September 2022 14:09
Petugas menhitung uang asing di penukaran uang DolarAsia, Blok M, Jakarta, Senin, (26/9/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menhitung uang asing di penukaran uang DolarAsia, Blok M, Jakarta, Senin, (26/9/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Meski pada hari ini rupiah cenderung menguat, tetapi pergerakan rupiah masih cenderung sulit untuk menguat ke bawah level Rp 15.000/US$. Sebab, dolar Amerika Serikat (AS) hingga kini masih sangat perkasa.

Melansir data Refinitiv, pada perdagangan Kamis (2/9/2022), pukul 11:49 WIB, rupiah menguat 0,13% ke Rp 15.240/US$. Rupiah masih berada di atas level psikologis Rp 15.000/US$.

Salah satu penyebab sulitnya Mata Uang Garuda menguat ke bawah level Rp 15.000/US$ adalah keperkasaan dolar AS.

Indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya kembali menyentuh rekor tertinggi selama dua dekade pada perdagangan hari ini ke posisi 113,233.

Keperkasaan dolar AS tersebut ditopang oleh sikap agresif bank sentral AS (Federal Reserve/the Fed) untuk meredam inflasi dengan menaikkan suku bunga acuannya.

Di sepanjang tahun ini, The Fed tercatat sudah menaikkan suku bunga hingga 300 basis poin (bp) dan mengirim tingkat suku bunga menjadi 3%-3,25%. Keagresifan The Fed kian meningkatkan isu resesi global.

Padahal secara teknis, negara dengan perekonomian terbesar di dunia seperti AS sudah mengalami resesi karena pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi selama dua kuartal beruntun tahun ini.

US Bureau of Economic Analysis melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal I-2022, terkontraksi 1,6% (quarter-to-quarter/qtq). Lalu pada kuartal II-2022, ekonomi Negeri Paman Sam kembali terkontraksi 0,9% qtq.

Meski begitu, The Fed diprediksikan akan terus menaikkan suku bunga acuannya hingga Februari 2023 untuk menekan angka inflasi kembali ke target The Fed di 2%.

Bahkan, Goldman Sachs memangkas perkiraan pertumbuhan PDB AS pada 2023 karena The Fed lebih agresif sepanjang sisa tahun ini dan akan mendorong tingkat pengangguran lebih tinggi dari yang diproyeksikan sebelumnya. Goldman memprediksikan pertumbuhan PDB hanya sebesar 1,1% pada 2023, turun dari perkiraan sebelumnya di 1,5%.

Seiring dengan ketidakpastian pada ekonomi global, permintaan akan dolar AS pun naik, karena investor beralih ke aset dengan nilai lindung seperti dolar AS yang merupakan mata uang safe haven. Sehingga wajar saja jika rupiah pun tertekan.

Padahal, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan kembali suku bunga acuannya guna memperkuat stabilisasi rupiah.

Pada 22 September 2022, BI telah menaikkan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 50 bp dan mengirim tingkat suku bunga menjadi 4,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bp menjadi 3,5% dan suku bunga Lending Facility sebesar 5%.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, preemptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3 plus minus 1%. pada paruh kedua tahun 2023.

Langkah tersebut juga dilakukan guna memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

Meski BI dinilai telah menunjukkan sikap 'ahead the curve' yang biasanya mampu memberikan rasa optimisme untuk nilai tukar, tampaknya hanya mampu menopang dalam jangka waktu singkat.

Selain itu, dana asing terus keluar dari dalam negeri (outflow) sepanjang tahun ini. Di pasar saham RI, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat asing telah melakukan aksi jual hingga mencapai Rp 3,49 triliun selama sepekan terakhir.

Sedangkan di pasar obligasi pemerintah RI atau Surat Berharga Negara (SBN), Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, dari 31 Agustus lalu hingga 26 September, tercatat outflow asing mencapai Rp 18,83 triliun.

Sedangkan kepemilikan asing di SBN per 26 September mencapai Rp 740,68 triliun atau sekitar 14,65% dari total SBN. Angka ini turun dari posisi 31 Agustus 2022 yang mencapai Rp 759,51 triliun atau sekitar 15,24%.

Sementara itu, dari posisi akhir tahun lalu hingga 26 September 2022, investor asing mencatatkan outflow sebesar Rp 150,66 triliun di pasar SBN.

Meski dana asing terus keluar dari pasar keuangan RI, tetapi BI akan terus melakukan "operation twist" di pasar obligasi dengan fokus menjual obligasi jangka pendek. Hal ini dikatakan oleh Kepala Departemen Manajemen Moneter BI, Edi Susianto.

"Tentu BI akan mengawal (pasar) dengan triple intervention agar mekanisme pasar tetap terjaga dan tidak terjadi depresiasi (rupiah) yang liar atau berlebihan," ujarnya dikutip Reuters.

"Triple Intervention lebih difokuskan pada DNDF (domestic non-deliverable forwards) untuk mengelola ekspektasi pelaku pasar," tambahnya.

Hal tersebut merupakan langkah untuk membuat obligasi Indonesia menjadi lebih menarik untuk investor asing, sehingga harapannya dapat menjaga nilai tukar rupiah di pasar spot.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article FYI! Rupiah & Mayoritas Mata Uang Asia Kalahkan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular