IHSG Bangkit! Kembali Jebol 7.100, Semoga Tahan Sampai Sore
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat 0,28% di 7.096,55 pada perdagangan Kamis (29/9/2022). Selang 7 menit IHSG terpantau naik 0,71% ke 7.125,72 menjebol kembali level psikologis 7.100.
Penguatan IHSG sejalan dengan pergerakan mayoritas indeks saham Asia yang menguat pada pagi hari ini.
Kabar baik datang dari Wall Street. Ketiga indeks saham acuannya mengalami kenaikan signifikan. Indeks Dow Jones naik 1,88% dan indeks S&P 500 menguat 1,97%.
Indeks Nasdaq Composite memimpin penguatan dengan apresiasi sebesar 2,05%. Senada dengan saham, harga obligasi pemerintah AS juga meningkat tercermin dari imbal hasilnya yang menurun.
Imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun menurun lebih dari 20 basis poin (bps) setelah sebelumnya menyentuh 4%. Semalam yield US Treasury 10 tahun turun ke 3,7%.
Penurunan yield tersebut terjadi setelah bank sentral Inggris memutuskan untuk mengambil langkah stabilisasi atas pelemahan nilai tukar poundsterling.
Asal tahu saja, poundsterling terus melemah terhadap dolar AS. Bahkan secara year to date poundsterling sudah drop 19%. Bahkan poundsterling sudah hampir dihargai GBP 1/US$.
Ada kekhawatiran bahwa investor belum memperhitungkan perlambatan pendapatan dan dampak dari kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
"Kasus utama kami adalah pendaratan yang sulit pada akhir 2023," kata investor AS Druckenmiller di KTT Investor Alpha Delivering CNBC di New York City, Rabu dikutip dari CNBC International.
"Saya akan terkejut jika kita tidak mengalami resesi di tahun 2023. Saya tidak tahu waktunya tetapi pasti pada akhir 2023. Saya tidak akan terkejut jika itu tidak lebih besar dari apa yang disebut varietas taman rata-rata," tambahnya.
Dengan pasar yang terus bearish sejak Juli lalu, para analis bahkan memprediksi kerugian investasi di pasar saham para investor ritel itu bisa mencapai US$ 9,5 sampai US$ 10 triliun.
Sementara para ekonom mengatakan akan ada dampak ekonomi lanjutan dari kerugian tersebut, yakni menambah tekanan pada dompet warga AS, di mana bisa berdampak pada pengurangan konsumsi, pinjaman hingga investasi.
Mark Zandi, kepala ekonom Moody's Analytics, mengatakan kerugian tersebut bahkan dapat mengurangi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil AS hampir 0,2% pada tahun mendatang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/vap)