Bursa Asia Merah Membara, Hang Seng & Kospi Terparah

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Rabu, 28/09/2022 16:53 WIB
Foto: Bursa China (Reuters)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup kembali berjatuhan pada perdagangan Rabu (28/9/2022), di tengah kejatuhan mata uang Asia-Pasifik akibat makin perkasanya dolar Amerika Serikat (AS).

Indeks Hang Seng Hong Kong memimpin koreksi bursa Asia-Pasifik pada hari ini, yakni ditutup ambruk 3,41% ke posisi 17.250,88. Sedangkan indeks KOSPI Korea Selatan menyusul di posisi kedua yang ditutup anjlok 2,45% ke 2.169,29.

Beberapa juga terkoreksi lebih dari 1%, seperti Shanghai Composite China yang ambrol 1,58% ke posisi 3.045,07, indeks Nikkei 225 Jepang ambles 1,5% ke posisi 26.173,98, Straits Times Singapura tergelincir 1,55% ke 3.116,31, ASX 200 Australia melemah 0,53% ke 6.462, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,5% menjadi 7.077,03.


Dari Jepang, bank sentral (Bank of Japan/BoJ) setuju untuk meneliti bagaimana pergerakan tajam yen baru-baru ini dapat mempengaruhi inflasi, di mana hal ini dibahas dalam rapat kebijakan moneter BoJ hari ini.

Salah satu anggota BoJ mengatakan bahwa tekanan di yen dapat mereda karena adanya perlambatan ekonomi global mulai membebani inflasi dan suku bunga jangka panjang di seluruh dunia.

"Jika ekonomi global mengalami guncangan, ada kemungkinan tren yen yang lemah saat ini bisa berubah menjadi tren yen yang kuat," kata anggota dewan BoJ lainnya, dikutip dari Channel News Asia.

Pada pertemuan 20 Juli hingga 21 Juli, BoJ memproyeksikan inflasi akan melebihi target 2% pada tahun ini. Meski kini inflasi sudah berada di atas target, tetapi mereka masih mempertahankan suku bunga ultra longgarnya dan mengisyaratkan tekadnya untuk menjaga moneter super longgar.

Pada periode Agustus 2022, inflasi di Negeri Sakura naik menjadi 2,8%, dari sebelumnya pada Juli lalu di 2,4%. Angka inflasi Jepang bulan lalu menjadi yang tertinggi sejak 2014.

BoJ memandang kenaikan harga saat ini sebagai sementara. Ini terkait dengan peristiwa luar biasa seperti perang di Ukraina.

Di lain sisi, keperkasaan sang greenback kembali memakan 'korban'. Kini giliran mata uang China yakni yuan yang terkoreksi cukup dalam hingga menyentuh level terendahnya sejak awal 2008.

Per pukul 15:03 WIB, yuan China ambles 0,88% ke posisi CNY 7,2388/US$.

Dengan terjatuhnya yuan, maka 'korban' dari keperkasaan dolar AS pun bertambah, setelah yen Jepang, euro, dan poundsterling Inggris.

Terkoreksinya mata uang yuan China dipicu oleh keperkasaan dolar AS di pasar spot. Indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya terpantau menguat cukup tajam 0,44% ke posisi 114,613 dan kembali menyentuh rekor tertingginya sejak dua dekade. Tidak heran, jika mata uang Negeri Panda pun tersungkur.

Padahal, pada Senin lalu, bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) telah berusaha untuk menstabilkan nilai tukar mata uangnya dengan memberlakukan kenaikan risk reverse requirement ratio untuk institusi finansial yang akan membeli valuta asing melalui kontrak forward menjadi 20% dari 0% yang dimulai hari ini.

Hal tersebut juga dilakukan PBoC untuk mempertahankan sentimen positif di pasar valas.

Namun, langkah itu tampaknya belum berdampak signifikan seiring keperkasaan dolar AS. Keperkasaan dolar AS ditopang oleh keputusan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bp) pada 21 September 2022 dan membawa tingkat suku bunga Fed ke 3-3,25%, tertinggi sejak 2008.

Bahkan, pejabat The Fed kembali mengisyaratkan kenaikan suku bunga hingga tingkat dana mencapai titik akhir sebesar 4,6% pada 2023. Ini menyiratkan kenaikan suku bunga seperempat poin tahun depan tetapi tidak ada penurunan.

Sejumlah bank investasi seperti Goldman Sachs dan Barclays pun menaikkan perkiraan mereka untuk suku bunga Fed.

Goldman Sachs dan Barclays Research memprediksikan bahwa The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 bp pada November 2022, 50 bp pada Desember 2022, dan 25 bp pada Februari 2023 sebagai puncaknya dengan tingkat suku bunga berada di 4,5-4,75% di 2023, lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya di 4-4,25%.

Sementara itu, Presiden The Fed Chicago, Charles Evans mengisyaratkan beberapa kekhawatiran tentang The Fed yang menaikkan suku terlalu cepat untuk melawan inflasi.

Proyeksi tersebut yang akhirnya membuat pasar keuangan global kembali dilanda koreksi dalam beberapa hari terakhir.

"The Fed perlu menaikkan suku bunga setidaknya satu poin persentase tahun ini," kata Charles Evans.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor