Pantas Aja Rupiah Susah Nanjak! Ini Penyebabnya...

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
28 September 2022 15:45
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) terus terkoreksi hingga menyentuh level Rp 15.200/US$. Padahal Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bps) pada pekan lalu. Apa penyebabnya?

Melansir data Refinitiv, pada perdagangan Rabu (28/9/2022), pukul 13:32 WIB, rupiah kembali terkoreksi tajam 0,89% ke Rp 15.255/US$. Posisi tersebut menjadi yang terendah sejak 27 April 2020.

Pada 22 September 2022, BI telah menaikkan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 50 bps dan mengirim tingkat suku bunga menjadi 4,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 3,5% dan suku bunga Lending Facility sebesar 5%.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, preemptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3 plus minus 1%. pada paruh kedua tahun 2023.

Langkah tersebut dilakukan guna memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global. Meski BI dinilai telah menunjukkan sikap 'ahead the curve' yang biasanya mampu memberikan rasa optimisme untuk nilai tukar, tampaknya hanya mampu menopang dalam jangka waktu singkat.

Kini, rupiah pun kembali diperdagangkan di level Rp 15.200/US$ dan berada di level terendah 2 tahun.

Salah satu penyebab semakin tertekannya Mata Uang Garuda di pasar spot, yakni keperkasaan dolar AS.

Indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya kembali menyentuh rekor tertinggi selama dua dekade pada awal perdagangan hari ini ke posisi 114,68. Namun, pukul 13:40 WIB, indeks dolar AS kembali ke posisi 114,48, memangkas penguatannya hanya menjadi 0,32%.

Keperkasaan dolar AS tersebut ditopang sikap agresif bank sentral AS (Federal Reserve/the Fed) untuk meredam inflasi dengan menaikkan suku bunga acuannya. Di sepanjang tahun ini, The Fed tercatat sudah menaikkan suku bunga hingga 300 bps dan mengirim tingkat suku bunga menjadi 3%-3,25%. Keagresifan The Fed kian meningkatkan isu resesi global.

Padahal, secara teknis negara dengan perekonomian terbesar di dunia seperti Amerika Serikat (AS) sudah mengalami resesi karena pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi selama dua kuartal beruntun tahun ini.

US Bureau of Economic Analysis melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal I-2022, terkontraksi 1,6% (quarter-to-quarter/qtq). Lalu pada kuartal II-2022, ekonomi Negeri Paman Sam kembali terkontraksi 0,9% qtq.

Meski begitu, The Fed diprediksikan akan terus menaikkan suku bunga acuannya hingga Februari 2023 untuk menekan angka inflasi kembali ke target The Fed di 2%.

Bahkan, Goldman Sachs memangkas perkiraan pertumbuhan PDB AS pada 2023 karena The Fed lebih agresif sepanjang sisa tahun ini dan akan mendorong tingkat pengangguran lebih tinggi dari yang diproyeksikan sebelumnya. Goldman memprediksikan pertumbuhan PDB hanya sebesar 1,1% pada 2023, turun dari perkiraan sebelumnya di 1,5%.

Seiring dengan ketidakpastian pada ekonomi global, permintaan akan dolar AS pun naik, karena investor beralih ke aset dengan nilai lindung seperti dolar AS yang merupakan mata uang safe haven. Sehingga wajar saja jika rupiah pun tertekan.

Selain itu, Dana asing terus keluar dari dalam negeri (outflow) sepanjang tahun ini. BI mencatat hingga 22 September 2022 dana asing yang kabur mencapai Rp 148,11 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Sementara pada rentang waktu 19-22 September, dana asing yang kabur sebanyak Rp 3,80 triliun di pasar SBN.

Pada Rabu (28/9), Kepala Departemen Manajemen Moneter BI Edi Susianto mengatakan bahwa BI akan terus melakukan "operation twist" di pasar obligasi dengan fokus menjual obligasi jangka pendek.

"Tentu BI akan mengawal (pasar) dengan triple intervention agar mekanisme pasar tetap terjaga dan tidak terjadi depresiasi (rupiah) yang liar atau berlebihan," ujarnya dikutip Reuters.

"Triple Intervention lebih difokuskan pada DNDF (domestic non-deliverable forwards) untuk mengelola ekspektasi pelaku pasar," tambahnya.

Hal tersebut merupakan langkah untuk membuat obligasi Indonesia menjadi lebih menarik untuk investor asing, sehingga harapannya dapat menjaga nilai tukar rupiah di pasar spot.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Makin Gawat! Rupiah Kini Sentuh Rp 15.160/US$

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular