Breaking! Dolar AS Kian Kuat, Rupiah Sentuh Rp 15.230/US$
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah kembali terlibas dolar Amerika Serikat (AS) hingga pada pertengahan perdagangan Rabu (28/9/2022), seiring dengan ambruknya mayoritas mata uang di Asia. Apa penyebabnya?
Mengacu pada data Refinitiv, rupiah terdepresiasi pada pembukaan perdagangan sebanyak 0,2% ke Rp 15.150/US$. Kemudian, rupiah kembali terkoreksi lebih dalam sebesar 0,73% ke Rp 15.230/US$ pada pukul 11:00 WIB.
Indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya kembali menyentuh rekor tertinggi selama dua dekade pada awal perdagangan hari ini ke posisi 114,68. Namun, pukul 11:00 WIB, indeks dolar AS kembali ke posisi 114,54, memangkas penguatannya hanya menjadi 0,38%.
Analis mata uang ternama memprediksikan dolar AS akan terus perkasa hingga waktu yang lama.
"Kekuatan dolar benar-benar melampaui banyak ekspektasi para analis untuk tahun ini, dan kemungkinan akan tetap lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama," kata Analis Senior Mata Uang Commonwealth Bank of Australia Carol Kong dikutip Reuters.
Pada Selasa (27/9), Penasihat Gedung Putih Brian Deese mengatakan bahwa kekuatan dolar AS di pasar spot mencerminkan kekuatan relatif ekonomi AS.
"Dalam lingkungan global yang sangat tidak pasti ... apa yang kami lihat adalah memperkuat posisi unik kekuatan ekonomi Amerika Serikat, terlepas dari semua kompleksitas pemulihan kami," kata Deese kepada wartawan setelah acara yang diselenggarakan oleh Economic Club dari Washington.
Melesatnya dolar AS di pasar spot terjadi setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bps) pada 21 September 2022 dan membawa tingkat suku bunga Fed ke 3-3,25%, tertinggi sejak 2008.
Berbagai lembaga keuangan pun memprediksikan bahwa The Fed akan terus menaikkan suku bunga acuannya hingga 2023. Goldman Sachs dan Barclays Research memprediksikan bahwa The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 bps pada November 2022, 50 bps pada Desember 2022, dan 25 bps pada Februari 2023 sebagai puncaknya dengan tingkat suku bunga berada di 4,5-4,75% di 2023, lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya di 4-4,25%.
Meskipun potensi perlambatan ekonomi hingga resesi akan terjadi, tampaknya tidak membuat The Fed gentar untuk melawan inflasi. Resesi dinilai menjadi obat penawar untuk badai inflasi di dunia. Ketika resesi terjadi, maka inflasi akan turun lebih cepat.
Maka, resesi yang menyebabkan inflasi menurun, menjadi lebih baik ketimbang harus menghadapi inflasi yang tinggi selama bertahun-tahun. Meski The Fed tidak secara gamblang menyatakan hal tersebut.
Namun, pada Agustus 2022 lalu, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa untuk menurunkan inflasi yang meninggi akan menyebabkan perekonomian AS merasakan 'beberapa rasa sakit', tapi hal tersebut menjadi harga yang harus dibayarkan untuk dapat menjinakkan inflasi.
Artinya, resesi memang memiliki dampak buruk bagi perekonomian dan pasar finansial, tapi resesi dapat menurunkan inflasi yang meninggi dengan lebih cepat. Sehingga, dampak resesi dinilai masih lebih baik dibandingkan dengan inflasi yang mendarah daging dalam waktu yang lama.
Penguatan si greenback nyatanya juga turut menekan pergerakan laju mayoritas mata uang di Asia, di mana Mata Uang Garuda menjadi mata uang yang terkoreksi paling dalam sebesar 0,73% terhadap dolar AS. Kemudian disusul oleh yuan China dan dolar Singapura yang melemah masing-masing sebesar 0,66% dan 0,54%.
Hanya ada dua mata uang di Asia yang berhasil menguat, meski tipis saja. Yen Jepang dan dolar Hong Kong terapresiasi yang masing-masing sebesar 0,05% dan 0,01%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/vap)