
Jalan Panjang Sejarah Gurita Bisnis Grup Astra

Jakarta, CNBC Indonesia - Diversifikasi bisnis PT Astra Internasional Tbk (ASII) makin meluas. Bukan hanya otomotif dan alat berat, perusahaan kini merambah sektor kesehatan hingga mobil listrik.
Namun, tidak banyak orang yang tahu kalau kisah pendiri yang gerak-gerik bisnisnya kini menjadi indikator perekonomian nasional.
Siapa mengira, Astra Group dimulai dari usaha kecil usai Tjia Kian Long muda masuk penjara. Sekeluar dari penjara dia bangkit. Bersama adik-adiknya dia membeli perusahaan yang mati suri untuk dijadikan kendaraan bisnis perdagangannya.
Perusahaan itu, seperti dicatat Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko dalam Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya (2012:69), berdiri berdasar Akte Notaris Sie Khwan Djioe pada 20 Februari 1957. Modal mereka kala itu senilai Rp 2,5 juta. Kala itu kantor perusahaan impor mirip toko kelontong.
Sejak awal, ia sudah menyematkan nama Astra untuk perusahaannya tersebut. Berbeda dengan Gedung Astra yang megah saat ini, Astra kecil berkantor di Jalan Sabang nomor 36A Jakarta itu selain sempit juga sering kebanjiran.
Astra pernah jadi importir limun merek Prim Club kornet CIP dan distributor pasta gigi Fresh O Dent, pasta gigi Odol Dent. Astra juga pernah jadi pengirim fosfat alumunium dan bohlam lampu. Astra pernah juga mengekspor kopra dan minyak goreng.
Pada awal 1960-an, ketika perekonomian RI sedang sulit Kian Liong justru ditinggal oleh Pang Hong dan adiknya Kian Tie. Sebab, keduanya ada pekerjaan lain yang harus mereka jalani di luar Astra. Beruntungnya, di masa sulit itu, sekitar 1962 hingga 1964, Astra sempat menjadi pemasok lokal proyek pembangunan waduk Jatiluhur.
Namun, bisnis Astra mandeg di tahun 1965-1966. Inflasi kala itu membumbung tinggi hingga 600%. Kala itu, Kian Liong dan stafnya pindah kantor dari Jalan Sabang ke Jalan Juanda III nomor 8. Di tahun-tahun sulit itu, atas saran jaksa Bandung bernama Suryakusuma Dinata itu, Kian Liong mulai memakai nama William Soeryadjaya.
Setelah jatuhnya Sukarno, perekonomian perlahan bangkit. William pun jadi importir 80 ribu ton aspal dari Jepang untuk membangun jalan pada 1966. Selain itu dia dapat pinjaman dari USAID sebesar $2,9 juta. Dana itu bisa dipakai untuk impor apa saja dari Amerika.
"William menggunakan dana tersebut untuk mengimpor 800 unit truk merek Chevrolet buatan General Motor Co. dan menjualnya kepada Pemerintah," tulis Bisuk Siahaan dalam Industrialisasi di Indonesia: Sejak Rehabilitasi Sampai Awal Reformasi (2000:420).
Truk itu masuk ke Indonesia melalui PT Gaya Motor. Perusahaan itu mengelola bekas perakitan milik NV General Motor Java Handel Maatschappij di Tanjung Priok dan setelah RI merdeka aset itu menjadi milik PN Gaya Motor. Setelahnya truk itu dijual Astra.
Astra tak hanya memasarkan truk Toyota di Indonesia. Produk kendaraan Jepang lainnya seperti Honda, Isuzu dan Daihatsu ikut dipasarkannya. Bisnis Willem lewat Astra Internasional setelah sukses menjual truk dan sepeda motor melebar.
Di antaranya dengan mendirikan perusahaan-perusahaan lain seperti United Tractor, Federal Motor dan Summalindo (kayu lapis). Anak-anak Willem kemudian terjun juga ke dunia bisnis.
Astra punya jasa dalam menjadikan Honda sebagai raja jalanan di Indonesia. Bahkan, Honda di beberapa daerah menjadi kata ganti untuk sepeda motor.
Kerjasama Astra dan Honda melahirkan Federal Motor pada 1971. Bisnis Federal Motor pernah mengalami gangguan pada era 1980-an dan nasib karyawan pun terancam. William menolak opsi PHK kepada karyawan Federal Motor yang jumlahnya sangat banyak.
William malah memaksa para petinggi Federal Motor untuk mengerjakan bisnis lain untuk bertahan. Akhirnya mereka memproduksi sepeda pancal di kala bisnis sepeda motor lesu. Sepeda mereka itu bermerek Federal.
William tidak hanya peduli kepada karyawannya, dia juga orang yang sangat peduli pada pelanggannya. Kasus Bank Summa adalah buktinya. Bank Summa adalah bank dipimpin Edward Soeryadjaya, anak sulung William. Ketika Bank Summa tidak sehat, William memikirkan nasib para nasabahnya. William sebagai kepala keluarga Soeryadjaya tidak kabur dari masalah.
"William mengambil keputusan yang pasti paling memilukan sepanjang hidupnya, dengan menjual 76% kepemilikan saham keluarganya di Astra International," tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:249). Hal itu dilakukan demi menyuntikkan dana ke Bank Summa yang membuat para nasabah bisa menarik uang mereka kembali.
Setelah kasus Bank Summa, Astra International bukan lagi perusahaan keluarga Soeryadjaya. Setelah djiual pun perusahaan itu berkembang karena sejak awal memberi tempat kepada kaum profesional untuk mengelola dan keluarga hanya jadi pemilik.
Terakhir, beginilah para petinggi perusahaan Astra.
Dewan Direksi:
Presiden Direktur : Djony Bunarto Tjondro
Direktur : Johannes Loman
Direktur : Suparno Djasmin
Direktur : Chiew Sin Cheok
Direktur : Gidion Hasan
Direktur : Henry Tanoto
Direktur : Santosa
Direktur : Gita Tiffani Boer
Direktur : FXL Kesuma
Direktur : Hamdani Dzulkarnaen Salim
Dewan Komisaris:
Presiden Komisaris : Prijono Sugiarto
Komisaris Independen : Sri Indrastuti Hadiputranto
Komisaris Independen : Rahmat Waluyanto
Komisaris Independen : Apinont Suchewaboripont
Komisaris Independen : Bambang PermadiSoemantriBrodjonegoro
Komisaris :Anthony John Liddell Nightingale
Komisaris : Benjamin William Keswick
Komisaris : John Raymond Witt
Komisaris : Stephen Patrick Gore
Komisaris: Benjamin Birks
(RCI/dhf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tak Banyak yang Tahu, Begini Awal Kisah Kesuksesan Indomie