
Ada 'Super Thursday' Di Pekan Ini, Investor Lepas SBN

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup melemah pada perdagangan Senin (19/9/2022), di mana investor menanti pengumuman kebijakan moneter terbaru bank sentral Amerika Serikat (AS) dan Bank Indonesia (BI).
Mayoritas investor kembali melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Namun di SBN tenor 1, 10, dan 25 tahun, investor ramai memburunya, ditandai dengan turunnya yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 1 tahun menurun 4,4 basis poin (bp) ke posisi 4,719%, sedangkan yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara juga turun 0,5 bp ke 7,209%, dan yield SBN tenor 25 tahun melandai 2,5 bp menjadi 7,491%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) cenderung kembali menguat pada hari ini, di mana untuk yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun tinggal sedikit lagi menyentuh 4%.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 2 tahun kembali naik 6,6 bp menjadi 3,925%, di mana level ini merupakan yang tertinggi sejak tahun 2007.
Yield Treasury jangka pendek paling sensitif terhadap kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dan sentimen dari inflasi, sehingga jika inflasi masih tinggi dan The Fed masih bersikap hawkish, maka yield Treasury tersebut cenderung akan terus menanjak.
Tak hanya Treasury berjangka pendek saja, yield Treasury berjangka menengah yang juga menjadi benchmark obligasi pemerintah Negeri Paman Sam, yakni Treasury berjatuh tempo 10 tahun juga naik 4,7 bp ke posisi 3,494%.
Pekan ini, beberapa bank sentral di berbagai negara akan mengadakan rapat kebijakan moneter dan mengumumkan kebijakan moneter tersebut, di mana pasar memprediksi bahwa bank sentral tersebut akan menaikkan suku bunga acuannya.
Adapun bank sentral tersebut yakni The Fed, bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), bank sentral Swiss (Swiss National Bank/SNB), bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ), dan Bank Indonesia (BI).
The Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat probabilitas sebesar 80%, The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 bp, dan probabilitas sebesar 20% untuk kenaikan 100 bp.
Sedangkan, BoE juga diprediksi menaikkan kembali suku bunga acuannya. Mengacu pada alat ukur BOEWatch, sebanyak 51% analis memprediksikan bahwa BOE akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bp dan akan mengirim tingkat suku bunga menjadi 2,25% dari 1,75%. Sementara sisanya, memproyeksikan kenaikan sebesar 75 bp dengan tingkat suku bunga menjadi 2,5%.
Sementara di Indonesia, BI dalam rapat diperkirakan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bp, melanjutkan pengetatan kebijakan moneternya dari bulan sebelumnya.
The Fed, BoE, SNB, BoJ, dan BI secara serentak akan mengumumkan kebijakan suku bunga terbarunya pada Kamis waktu Indonesia atau dapat disebut sebagai 'Super Thursday'.
Sikap agresif bank sentral di sebagian besar negara masih akan dilakukan hingga inflasi dinilai sudah benar-benar melandai atau mendekati target yang ditetapkan.
Dengan terus agresifnya bank sentral di berbagai negara, maka potensi resesi global semakin besar. Bank Dunia (World Bank) pun menyebut bahwa dunia berisiko menghadapi jurang resesi pada 2023.
Bank Dunia menyebut, perekonomian global saat ini mengalami perlambatan paling tajam setelah pemulihan pasca resesi sejak tahun 1970. Kepercayaan konsumen global telah mengalami penurunan yang jauh lebih tajam dibandingkan resesi global sebelumnya.
Jika perlambatan global yang sedang berlangsung berubah menjadi resesi, ekonomi global pada akhirnya dapat mengalami kerugian output permanen yang besar dibandingkan dengan tren pra-pandemi Covid-19.
"Ini akan memiliki konsekuensi yang parah bagi prospek pertumbuhan jangka panjang pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang yang telah terpukul keras oleh resesi global yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 pada tahun 2020," kata Bank Dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi