Dolar AS Diramal Melesat, Rupiah Dkk Kompak Ambyar!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
Senin, 19/09/2022 11:29 WIB
Foto: detik.com

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah sempat stagnan sebelum akhirnya terlibas dolar Amerika Serikat (AS) hingga pada pertengahan perdagangan Senin (19/9/2022). Pelemahan rupiah sejalan dengan mayoritas mata uang di Asia.

Mengacu pada data Refinitiv, rupiah stagnan pada pembukaan perdagangan di Rp 14.950/US$. Sayangnya, rupiah kembali terkoreksi menjadi 0,16% ke Rp 14.974/US$ pada pukul 11:00 WIB.


Pukul 11:00 WIB, indeks dolar AS menguat 0,06% ke posisi 109,83 terhadap enam mata uang dunia lainnya. Namun, posisi tersebut jauh dari rekor tertinggi sejak dua puluh tahun yang dicapainya pada Rabu (7/9/2022) di 110,79.

Meski begitu, para analis memprediksikan bahwa si greenback akan kembali perkasa karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan terus agresif pada pertemuannya pekan ini.

"USD dapat tetap tinggi karena The Fed terus meningkatkan suku bunga acuannya secara agresif dan meningkatkan risiko resesi global. Sehingga dolar AS dapat mencapai puncak siklus baru di atas 110,8," tulis Ahli Strategi Commonwealth Bank of Australia dalam catatan klien dikutip Reuters.

Jika mengacu pada alat ukur FedWatch, pasar memprediksikan peluang sebanyak 80% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) menjadi 3-3,25%. Sementara sisanya memproyeksikan The Fed akan lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 100 bps menjadi 3,25-3,5%.

Keagresifan The Fed, kian meningkatkan potensi resesi ekonomi. Bahkan, secara teknis, negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini sudah masuk ke zona resesi karena PDB-nya sudah dua kuartal beruntun terkontraksi. Namun, hal tersebut tidak membuat gentar The Fed untuk melawan inflasi yang meninggi.

Bahkan, Goldman Sachs memangkas perkiraan pertumbuhan PDB AS pada 2023 karena The Fed lebih agresif sepanjang sisa tahun ini dan akan mendorong tingkat pengangguran lebih tinggi dari yang diproyeksikan sebelumnya.

Goldman memprediksikan pertumbuhan PDB hanya sebesar 1,1% pada 2023, turun dari perkiraan sebelumnya di 1,5%. Tidak hanya itu, mereka juga merevisi perkiraannya bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps pekan ini, naik dari perkiraan sebelumnya yang hanya di 50 bps.

Lalu, pada November dan Desember 2022, The Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 bps dan mengirim tingkat suku bunga menjadi 4-4,25% pada akhir tahun.

"Jalur suku bunga yang lebih tinggi ini dikombinasikan dengan pengetatan baru-baru ini dalam kondisi keuangan menyiratkan pandangan yang agak lebih buruk untuk pertumbuhan dan pekerjaan tahun depan," tulis Goldman.

Tingkat pengangguran diprediksikan akan naik 0,1% ke 3,7% pada akhir tahun ini, dan kembali naik menjadi 4,1% pada akhir 2023.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) juga akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 21-22 September 2022 untuk membahas kebijakan moneter selanjutnya. Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BI akan mengekor The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps, melanjutkan pengetatan kebijakan moneternya dari bulan sebelumnya.

Keperkasaan dolar AS, turut menekan pergerakan mata uang di Asia. Mayoritas mata uang di Asia terkoreksi terhadap dolar AS, di mana dolar Taiwan dan ringgit Malaysia melemah paling tajam terhadap dolar AS yang masing-masing sebesar 0,31% dan 0,22%.

Sementara hanya rupee India yang berhasil menguat tipis 0,02% terhadap si greenback.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/vap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS