Akhir Pekan Bursa Asia 'Kebakaran', Shanghai Paling Parah!
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik kembali ditutup berjatuhan pada perdagangan Jumat (16/9/2022), karena investor masih cenderung khawatir dampak dari inflasi global yang masih meninggi.
Indeks Nikkei Jepang ambles 1,11% ke posisi 27.567,65, Shanghai Composite China ambruk 2,3% ke 3.126,4, ASX 200 Australia ambrol 1,52% ke 6.739,1, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,87% menjadi 7.168,87.
Sedangkan untuk Hang Seng Hong Kong ditutup merosot 0,89% ke posisi 18.761,69 dan KOSPI Korea Selatan terkoreksi 0,79% menjadi 2.382,78.
Namun untuk indeks Straits Times Singapura berhasil ditutup di zona hijau, meski hanya tipis-tipis saja. Straits Times ditutup naik tipis 0,01% menjadi 3.268,29.
Dari China, data penjualan ritel meningkat 5,4% pada Agustus lalu, jauh lebih tinggi dari 2,7% pada posisi Juli lalu dan juga di atas perkiraan pasar dalam survei Reuters sebesar 3,5%.
Sedangkan, data produksi industri China tumbuh 4,2% pada bulan lalu, melampaui prediksi pasar dalam polling Reuters sebesar 3,8%. Output industri China pada bulan lalu juga lebih tinggi dari periode Juli 2022 yang sebesar 3,8%.
Jatuhnya bursa Asia-Pasifik dikarenakan investor masih khawatir dengan inflasi global, terutama di Amerika Serikat (AS) yang masih tinggi pada Agustus lalu.
Inflasi di AS dikhawatirkan 'mendarah daging', sebab sektor energi yang sebelumnya menjadi pemicu tingginya inflasi sudah menurun.
Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan harga energi turun 5% month-to-month (MtM), berkat harga BBM yang merosot hingga 10,6% (MtM).
Meski demikian, jika dilihat dari Agustus 2021, indeks harga energi masih melesat 23,8%, akibat kenaikan harga listrik dan gas alam.
Harga BBM sendiri sudah mengalami penurunan selama 91 hari beruntun. Harga termahal tercatat pada Juni lalu US$ 5,02/galon, sementara saat ini harganya sudah US$ 3,7/galon.
Penurunan harga energi tersebut membuat inflasi di AS menurun dua bulan beruntun.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada Agustus dilaporkan sebesar 8,3% (year-on-year/yoy).
Tanda jika inflasi sudah "mendarah daging" terlihat dari inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan. Inflasi inti justru melesat 6,3% (yoy), lebih tinggi dari bulan Juli 5,9%.
Inflasi yang masih tinggi membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksi semakin agresif menaikkan suku bunga, sehingga risiko resesi semakin besar. The Fed berpotensi menaikkan kembali suku bunga acuannya sebesar 75 bp, bahkan ada kemungkinan sebesar 100 basis poin pekan depan.
Hal ini terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group, di mana pasar melihat probabilitas sebesar 67% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, dan probabilitas sebesar 33% untuk kenaikan 100 basis poin.
The Fed sudah menegaskan komitmennya untuk terus menaikkan suku bunga dan menahannya di level tinggi hingga inflasi kembali ke 2%.
Saat suku bunga meningkat, bunga kredit pun turut naik sehingga akan membebani ekspansi korporasi dan konsumsi rumah tangga. Akibatnya roda ekonomi tidak berputar sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut kemudian menciptakan pesimisme di pasar.
Kuatnya kekhawatiran para pelaku pasar atas potensi kenaikan suku bunga The Fed menghapuskan sentimen positif dari beberapa rilis ekonomi Negeri Paman Sam.
Pada Kamis kemarin, Departemen Ketenagakerjaan AS melaporkan klaim pengangguran awal di AS untuk pekan terakhir 10 September berjumlah 213.000, turun 5.000 dari periode sebelumnya. Angka ini pun lebih rendah dari perkiraan ekonom di mana angkanya akan naik ke 226.000.
Kemudian penjualan ritel AS bertumbuh 0,3% secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Agustus lalu, tumbuh dari bulan sebelumnya yang negatif 0,4%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)