IHSG Ambruk Nyaris 2%, Rupanya Ini Penyebabnya
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambruk nyaris 2% pada perdagangan Jumat (16/9/2022). Kejatuhan ini tak lepas dari bursa saham regional yang juga amblas karena investor masih cenderung khawatir dampak dari inflasi global yang masih meninggi.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ditutup ambruk 1,87% ke posisi 7.168,87. IHSG keluar jauh dari zona psikologisnya di 7.300 dan kini berada di zona psikologis 7.100.
Pada awal perdagangan sesi I, IHSG dibuka melemah 0,24% di posisi 7.287,96. Setelah dibuka, koreksi IHSG kian bertambah. Pada penutupan perdagangan sesi I, IHSG ambles 1,68% 7.182,85. Hanya dalam sehari saja, IHSG langsung kembali menyentuh zona psikologisnya di 7.100.
Nilai transaksi indeks pada hari ini mencapai sekitaran Rp 27 triliun dengan melibatkan 40 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,6 juta kali. Sebanyak 156 saham menguat, 414 saham melemah, dan 128 saham lainnya stagnan.
Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya pada hari ini, yakni hingga mencapai Rp 3,1 triliun.
Sedangkan saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi yang mencapai Rp 1,7 triliun dan saham PT Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) di posisi ketiga sebesar Rp 1,7 triliun.
Dari pergerakan sahamnya, saham BBCA ditutup ambles 3,43% ke posisi Rp 8.450/unit. Sedangkan saham BUMI ambruk 5,26% ke Rp 180/unit, dan saham AMRT berakhir ambrol 4,29% menjadi Rp 2.230/unit.
Pergerakan IHSG hari ini cenderung mengikuti pergerakan bursa saham regional yakni Asia-Pasifik yang terpantau kembali ambles setelah pada perdagangan kemarin berupaya untuk bangkit.
Indeks Nikkei Jepang ambles 1,11%, Hang Seng Hong Kong merosot 0,89%, Shanghai Composite China ambruk 2,3%, Straits Times Singapura melemah 0,3%, ASX 200 Australia ambrol 1,52%, dan KOSPI Korea Selatan terkoreksi 0,79%.
Tak hanya bursa Asia-Pasifik saja, kemarin, bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street juga ditutup kembali melemah setelah sehari sebelumnya juga berupaya bangkit.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,56%, S&P 500 ambles 1,13%, dan Nasdaq Composite ambrol 1,43%.
Investor global masih khawatir dengan inflasi global, terutama di AS yang masih tinggi pada Agustus lalu.
Inflasi di AS dikhawatirkan 'mendarah daging', sebab sektor energi yang sebelumnya menjadi pemicu tingginya inflasi sudah menurun.
Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan harga energi turun 5% month-to-month (MtM), berkat harga BBM yang merosot hingga 10,6% (MtM).
Meski demikian, jika dilihat dari Agustus 2021, indeks harga energi masih melesat 23,8%, akibat kenaikan harga listrik dan gas alam.
Harga BBM sendiri sudah mengalami penurunan selama 91 hari beruntun. Harga termahal tercatat pada Juni lalu US$ 5,02/galon, sementara saat ini harganya sudah US$ 3,7/galon.
Penurunan harga energi tersebut membuat inflasi di AS menurun dua bulan beruntun.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada Agustus dilaporkan sebesar 8,3% (year-on-year/yoy).
Tanda jika inflasi sudah "mendarah daging" terlihat dari inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan. Inflasi inti justru melesat 6,3% (yoy), lebih tinggi dari bulan Juli 5,9%.
Inflasi yang masih tinggi membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksi semakin agresif menaikkan suku bunga, sehingga risiko resesi semakin besar. The Fed berpotensi menaikkan kembali suku bunga acuannya sebesar 75 bp, bahkan ada kemungkinan sebesar 100 basis poin pekan depan
Hal ini terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group, di mana pasar melihat probabilitas sebesar 67% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, dan probabilitas sebesar 33% untuk kenaikan 100 basis poin.
The Fed sudah menegaskan komitmennya untuk terus menaikkan suku bunga dan menahannya di level tinggi hingga inflasi kembali ke 2%.
Tidak hanya The Fed, bank sentral utama dunia lainnya juga bisa melakukan hal yang sama, sehingga dunia terancam resesi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)