Bursa Asia Mulai Bangkit Lagi, Semoga Jadi Kode Buat IHSG

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
15 September 2022 08:44
Men look at an electronic stock board showing Japan's Nikkei 225 index at a securities firm in Tokyo Friday, Jan. 4, 2019. Japanese markets have tumbled as they reopened after the New Year holidays, while other Asian indexes are mixed after a technology-led sell-off on Wall Street. (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Foto: Bursa Jepang (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung menguat pada perdagangan Kamis (15/9/2022), setelah sehari sebelumnya ditutup berjatuhan akibat investor yang merespons negatif dari rilis data inflasi di Amerika Serikat (AS).

Indeks Nikkei Jepang dibuka naik 0,18%, Shanghai Composite China menguat 0,35%, Straits Times Singapura bertambah 0,41%, ASX 200 Australia naik tipis 0,07%, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,19%. Namun untuk indeks Hang Seng Hong Kong pada hari ini dibuka di zona merah, yakni turun tipis 0,07%.

Dari China, pelaku pasar dalam survei Reuters memperkirakan bank sentral China (People Bank of China/PBoC) akan kembali mempertahankan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor 1 tahun di level 2,75%.

Sementara itu dari Australia, data tingkat pengangguran periode Agustus akan dirilis pada hari ini dan diperkirakan tidak akan berubah dari periode Juli lalu di 3,4%.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung menguat terjadi di tengah bursa saham AS, Wall Street di perdagangan kemarin yang mencoba bangkit dari kejatuhan pada perdagangan Selasa lalu, di mana tiga indeks utama Wall Street kompak menguat, meski masih cenderung terbatas.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup naik 0,1% ke posisi 31.135,09, S&P 500 menguat 0,34% ke 3.946,01, dan Nasdaq Composite terapresiasi 0,74% menjadi 11.719,68.

Sebelumnya pada Selasa lalu, Dow Jones ambruk 3,94%, S&P 500 anjlok 4,32%, dan Nasdaq Composite longsor 5,16%.

Pergerakan pasar tersebut terjadi setelah dirilisnya data inflasi AS dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) periode Agustus 2022 yang menunjukkan inflasi utama naik 0,1% (month-to-month/mtm), meskipun ada penurunan harga gas.

Laporan inflasi semakin meningkatkan ekspektasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) pada pertemuan 20-21 September.

IHK AS per Agustus yang masih tinggi dapat membuat The Fed melanjutkan kenaikan secara agresif lebih lama dari yang diantisipasi oleh investor.

"Aksi jual Selasa adalah pengingat bahwa reli berkelanjutan kemungkinan memerlukan bukti yang jelas bahwa inflasi berada dalam tren menurun. Dengan ketidakpastian makroekonomi dan kebijakan yang meningkat, kami memperkirakan pasar akan tetap bergejolak di bulan-bulan mendatang," kata Mark Haefele, CIO dari UBS Global Wealth Management, dalam catatannya.

Para pelaku pasar menilai langkah agresif The Fed dalam menurunkan suku bunga akan berlanjut pada bulan ini. Kebijakan moneter tersebut akan diumumkan pada setelah pertemuan (FOMC) yang dilaksanakan pada 20-21 September 2022.

Berdasarkan perangkat CME FedWatch, peluang kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 75 bp menjadi 3,00% - 3,25% adalah 74%. Sementara peluang kenaikan suku bunga acuan sebesar 100 bp menjadi 3,25% - 3,50% adalah 26%.

Di sisi lain, laju inflasi Inggris pada Agustus melambat dibandingkan bulan sebelumnya. IHK Inggris pada Agustus 2022 masih mencatatkan inflasi 9,9% (year-on-year/yoy).

Angka ini sedikit di bawah konsensus para ekonom yang disurvei Reuters sebesar 10,2%. Angka ini juga turun dari bulan sebelumnya sebesar 10,1% yoy.

Untuk inflasi inti, yang tidak termasuk harga bergejolak, tercatat 0,8% (mtm) dan 6,3% (yoy).

Meski melambat, inflasi Inggris tetap masih tinggi. Sebagai respon, bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) diperkirakan akan menaikkan suku bunga terbesar Agustus masih akan berlanjut bulan ini berkisar 50 bp menjadi 2,25% yang merupakan level tertinggi sejak Desember 2008.

Kenaikan suku bunga acuan secara agresif untuk melawan inflasi akan meningkatkan peluang terjadinya resesi karena ekonomi yang berhenti ekspansi.

Saat suku bunga acuan naik, bunga kredit pun berpotensi meningkat sehingga biaya ekspansi semakin mahal sehingga produsen memilih bertahan.

Konsumsi terancam tergerus karena tingkat kredit konsumsi yang juga naik, sehingga konsumen memilih menahan spending. Akibatnya roda bisnis menjadi melambat bahkan bisa berhenti.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular