Rupiah Paling Keok di Asia! Padahal Dolar AS Lagi Lesu
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah sempat stagnan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), sebelum akhirnya terkoreksi hingga pada pertengahan perdagangan Selasa (13/9/2022). Padahal, indeks dolar AS sedang melemah di pasar spot.
Mengacu pada data Refinitiv, rupiah stagnan pada pembukaan perdagangan di Rp 14.840/US$. Kemudian, rupiah terkoreksi 0,17% ke Rp 14.865/US$ pada pukul 11:00 WIB.
Investor global masih menantikan rilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Agustus 2022 yang akan dirilis pada hari ini waktu setempat. Jajak pendapat Reuters memprediksikan bahwa IHK akan melandai ke 8,1% secara tahunan (yoy) dari 8,5% pada Juli 2022.
Namun, mayoritas analis dari jajak pendapat Reuters memperkirakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bps) pada pertemuan selanjutnya di 21-22 September 2022, meskipun IHK diprediksi melandai.
Jika terealisasi, maka akan membawa tingkat suku bunga acuan ke kisaran target 3-3,25% dan menjadi yang tertinggi sejak 2008.
"Jika ada perubahan dalam nada The Fed dalam beberapa bulan terakhir, itu mengarah pada komitmen yang lebih kuat untuk mengurangi inflasi, bahkan dengan risiko penurunan," kata Kepala Ekonom di Bank of America Securities Michael Gapen dikutip Reuters.
Meski pasar memprediksikan bahwa The Fed akan tetap agresif, tapi tidak membuat indeks dolar AS perkasa di pasar spot. Pukul 11:00 WIB, indeks dolar AS terpantau melemah 0,12% ke posisi 108,19.
Pelemahan indeks dolar di AS, seharusnya menjadi momen yang tepat untuk penguatan Mata Uang Garuda. Namun, sayangnya rupiah masih terkoreksi.
Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa kredit valas melesat 16,82% dan dana pihak ketiga (DPK) valuta asing (valas) hanya di 5,8%.
Selisih kredit dengan DPK yang cukup jauh, membuat persaingan mendapatkan pasokan dolar terancam. Terlebih, ada kebutuhan pemerintah untuk membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 443,8 triliun pada 2022 termasuk dalam bentuk valas.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani menuturkan likuiditas dolar AS yang seret dipicu setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga.
Di sisi lain, BI lambat meresponsnya dengan penyesuaian di dalam negeri. Efeknya, modal di dalam negeri terbang ke luar negeri (capital outflow). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bahkan masih mempertahankan tingkat suku bunga valas di 0,25% untuk periode 28 Mei-30 September.
"Investor mencari suku bunga mana yang baik buat mereka sehingga sekarang terjadi apa namanya perebutan, dana investor di seluruh dunia saling menaikkan suku bunga sehingga harus diakui banyak capital outflow saat itu," ujar Aviliani dalam Power Lunch, CNBC Indonesia (9/9/2022).
Keringnya persediaan dolar AS, tentunya dapat membuat rupiah pun menjadi tidak stabil, apalagi dibarengi dengan capital outflow. Sehingga, wajar saja jika Mata Uang Tanah Air sulit menguat terhadap dolar AS meskipun si greenback sedang terkoreksi di pasar spot.
Di Asia, mayoritas mata uang berhasil menguat, di mana yen Jepang menjadi mata uang berkinerja terbaik karena terapresiasi 0,24% terhadap dolar AS. Kemudian disusul oleh rupee India menguat 0,12% di hadapan greenback.
Sementara, rupiah menjadi mata uang berkinerja terburuk karena terkoreksi paling dalam terhadap dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/vap)