Ketularan Wall Street, Bursa Asia Dibuka Cerah! IHSG Ikutan?

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
08 September 2022 08:51
A man paues in front of an electric screen showing Japan's Nikkei share average outside a brokerage in Tokyo, Japan, August 5, 2019.   REUTERS/Issei Kato
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung menguat pada perdagangan Kamis (8/9/2022), menyusul rebound-nya bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu kemarin.

Indeks Nikkei Jepang dibuka melesat 1,06%, Hang Seng Hong Kong naik 0,13%, Straits Times Singapura menguat 0,86%, ASX 200 Australia naik tipis 0,03%, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,74%.

Namun untuk indeks Shanghai Composite China pada hari ini dibuka melemah tipis 0,03%.

Dari Jepang, ekonominya pada kuartal kedua tahun ini tumbuh lebih dari yang diharapkan, karena adanya pencabutan pembatasan Covid-19 lokal yang mendorong tingkat belanja konsumen dan bisnis.

Data pertumbuhan ekonomi Jepang yang tergambarkan pada Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II-2022 tumbuh 3,5% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih kuat dari perkiraan awal yang tumbuh 2,2%, berdasarkan data pemerintah Jepang.

Angka tersebut juga lebih baik dari perkiraan pasar yang memperkirakan kenaikan 2,9%.

Ini menunjukkan bahwa permintaan domestik di Jepang mengalami peningkatan moderat, setelah pemerintah menghapus pembatasan Covid-19 pada kegiatan ekonomi di akhir kuartal pertama tahun ini.

Konsumsi swasta, yang membentuk lebih dari setengah PDB Jepang tumbuh 1,2%, direvisi naik dari perkiraan awal kenaikan 1,1%.

Sedangkan belanja modal naik 2,0%, juga direvisi naik dari perkiraan awal kenaikan 1,4% dan lebih dari perkiraan pasar yang memperkirakan kenaikan 1,8%.

Jepang telah tertinggal dari negara-negara dengan ekonomi utama lainnya dalam melepaskan hambatan dari pandemi karena pemulihan konsumsi yang lambat, di mana hal ini sebagian disalahkan pada konsumen yang menua yang enggan meningkatkan pengeluaran layanan karena kekhawatiran infeksi Covid-19.

Di lain sisi, Jepang juga berbeda dengan negara-negara lainnya yang bank sentralnya sudah bersikap hawkish. Bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) justru masih mempertahankan sikap dovish-nya, di mana bank sentral Negeri Sakura tersebut masih mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung menguat terjadi di tengah rebound-nya bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Rabu kemarin.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melesat 1,4% ke posisi 31.581,28, S&P 500 melejit 1,83% ke 3.979,87, dan Nasdaq Composite terbang 2,14% menjadi 11.791,9.

Penguatan indeks saham Wall Street menyusul pelemahan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun.

Yield Treasury tenor 10 tahun terpantau melemah 3 basis poin (bp) menjadi 3,31%, setelah sempat menyentuh posisi tertingginya sejak pertengahan Juni 2022 di 3,35%.

Treasury tenor 10 tahun merupakan aset pendapatan tetap yang dikenal paling aman sehingga sering disebut sebagai risk free.

Ketika risk free rate naik, wajar jika saham yang lebih berisiko dilepas para investor dan mengalami koreksi harga. Setidaknya itulah yang terjadi belakangan ini.

Kenaikan risk free rate dipicu oleh arah kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih bernada hawkish. Pelaku pasar mengantisipasi The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp pada pertemuan September ini.

Asal tahu saja, The Fed sudah mengerek naik suku bunga acuannya sebanyak 4 kali menjadi 2,25% sepanjang tahun ini.

Di bulan Juni dan Juli, The Fed menaikkan Federal Funds Rate (FFR) masing-masing sebesar 75 bp dan menjadi pengetatan moneter sejak tahun 1990-an.

Selain berdampak pada kenaikan yield Treasury, kenaikan suku bunga yang agresif juga membuat indeks dolar AS menguat dan tembus 110.

Penguatan indeks dolar AS menelan korban yaitu mata uang lain termasuk mata uang negara maju seperti Euro dan Poundsterling.

Bahkan belum lama ini, Poundsterlling melemah ke posisi terendahnya sejak tahun 1985.

The Fed yang masih akan agresif dalam mengerek suku bunga acuan diprediksi akan membuat ekonomi AS terdampak. Pertumbuhan ekonominya diramal bakal melambat bahkan sampai resesi.

Namun The Fed masih 'kekeuh' bahwa inflasi tampaknya belum mencapai puncak sehingga kebijakan moneter yang restriktif masih akan ditempuh.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular