Bursa Asia Ambyar Berjamaah, Cuma Shanghai yang Selamat

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Rabu, 07/09/2022 16:49 WIB
Foto: Bursa Jepang (Nikkei). (AP Photo/Koji Sasahara)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup di zona merah pada perdagangan Rabu (7/9/2022), di mana investor masih menunggu pidato pejabat bank sentral Amerika Serikat (AS), untuk menjelaskan situasi ekonomi saat ini yang dikenal dengan Beige Book.

Hanya indeks Shanghai Composite China yang ditutup di zona hijau pada hari ini, yakni naik tipis 0,09% ke posisi 3.246,29 Sedangk sisanya ditutup di zona merah. Indeks Nikkei Jepang ditutup melemah 0,71% ke posisi 27.430,3, Hang Seng Hong Kong merosot 0,83% ke 19.044,3, ASX 200 Australia ambles 1,42% ke 6.729,3.

Berikutnya Straits Times Singapura ditutup terkoreksi 0,41% ke posisi 3.210,83, KOSPI Korea Selatan ambrol 1,39% ke 2.376,46, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terdepresiasi 0,64% menjadi 7.186,76.


Dari Australia, Biro Statistik hari ini melaporkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2022 sebesar 0,9% dari kuartal sebelumnya. Sementara dilihat dari kuartal II-2021 atau year-on-year (yoy), perekonomian Australia tumbuh 3,6%, lebih tinggi dari kuartal I-2022 sebesar 3,4% (yoy).

Angka tersebut melampaui ekspektasi pasar yang memprediksikan di 3,4%. Angka pertumbuhan tersebut menjadi yang terbesar sejak 2011 karena Australia telah membuka kembali perbatasan domestik maupun internasional sejak Covid-19 melanda.

Perekonomian Australia yang terus meningkat pesat, didominasi oleh ekspor yang melonjak. Ekspor melesat 5,5% dan berkontribusi menambah 1 poin persentase kepada produk domestik bruto (PDB).

Ekspor tersebut didominasi oleh pertambangan khususnya batu bara. Diketahui, sektor pertambangan memiliki porsi 13,5% terhadap total PDB. Namun, PDB yang melesat tersebut diprediksikan menjadi awal dari perlambatan ekonomi.

"Ada perlambatan, jika belum, maka dipastikan akan datang," tutur Kepala Analis KPMG Brendan Rynne dikutip dari The Guardian.

"Perlambatan itu kemungkinan besar akan berakselerasi karena RBA terus mengerem ekonomi dengan menaikkan suku bunga dari level luar biasa rendah dalam beberapa waktu ini," tambahnya.

Pada Selasa kemarin, bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) kembali menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 50 basis poin (bp), mengirim tingkat suku bunga ke 2,35% dan menjadi yang tertinggi sejak awal 2015. Langkah tersebut diambil sebagai respon untuk meredam angka inflasi yang melonjak.

"Jalan untuk membawa harga kembali ke keseimbangan adalah sempit dan diselimuti ketidakpastian, paling tidak karena perkembangan global," kata bank itu dalam sebuah pernyataan, dikutip AFP.

Diketahui, inflasi di Australia pada kuartal II-2022 berada di 6,1% dan menyentuh posisi tertinggi dalam 21 tahun terakhir.

Inflasi diperkirakan akan terus meningkat selama beberapa bulan ke depan, bahkan RBA memperkirakan inflasi akan mencapai puncaknya pada 7,75% tahun ini. Namun, akan turun menjadi 4% tahun depan.

Di lain sisi, investor global masih menunggu pidato pejabat bank sentral Amerika Serikat (AS) pada hari ini waktu setempat, untuk menjelaskan situasi ekonomi saat ini yang dikenal dengan Beige Book.

Pada Selasa kemarin, imbal hasil (yield) obligasi AS melonjak, di mana yield obligasi tenor 10 tahun melesat ke level tertingginya sejak Juni 2022.

Sedangkan yield obligasi tenor 30 tahun berakhir ke level tertingginya sejak 2014. Hal tersebut menandakan bahwa investor khawatir akan situasi ekonomi saat ini dan memburu aset aman seperti obligasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor