
IHSG Menguat di Sesi Pertama, Tapi Belum Mampu Tembus 7.300

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir menguat pada penutupan perdagangan sesi I Selasa (6/9/2022). Penguatan ini terjadi di tengah pro dan kontra terkait keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
IHSG dibuka menguat 0,43% di posisi 7.262,64 dan ditutup di zona hijau dengan apresiasi 0,11% atau 8,23 poin ke 7.240,12 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat naik ke Rp 9,11 triliun dengan melibatkan lebih dari 14 miliar saham.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Sejak perdagangan dibuka IHSG sudah berada di zona hijau. Selang 5 kemudian IHSG terpantau melanjutkan penguatan 0,63% ke 7.276,35. Pukul 10:35 WIB IHSG memangkas penguatan 0,18 % ke 7.245,04 tetapi masih konsisten menghijau hingga penutupan perdagangan sesi pertama.
Level tertinggi berada di 7.287,7 sekitar pukul 09:20 WIB sementara level terendah berada di 7.236,1 menjelang penutupan perdagangan. Mayoritas saham siang ini melemah yakni sebanyak 269 unit, sedangkan 248 unit lainnya menguat, dan 175 sisanya stagnan.
Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya hari ini, yakni mencapai Rp 1,2 triliun. Sedangkan saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 603,2 miliar dan saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) di posisi ketiga sebesar Rp 340,9 miliar.
Penguatan IHSG terjadi di tengah bayang-bayang sentimen negatif baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Apalagi, sejak pagi tadi ribuan massa aksi tiba di gedung DPR melakukan tolak kenaikan harga BBM.
Tetapi sentimen negatif ini masih tertutupi pasca harga Harga batu bara mencatatkan rekor baru pada perdagangan Senin (5/9/2022), harga batu kontrak Oktober di pasar ICE Newcastle ditutup di US$ 463,75 per ton. Harganya terbang 5,18% dibandingkan perdagangan terakhir pada Jumat pekan lalu.
Ini menjadi yang tertinggi dalam sejarah. Harga tersebut sekaligus melewati rekor sebelumnya, yakni US$ 446 per ton yang tercatat pada 2 Maret 2022 atau hanya beberapa hari setelah perang Rusia-Ukraina meletus.
Sementara saat ini pasar tengah mengantisipasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) yang masih akan hawkish. Pernyataan bos The Fed Jerome Powell telah memberi sinyal akan menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan September ini.
Pasar masih memperkirakan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) untuk mengembalikan inflasi ke kisaran target 2%, meskipun harus berdampak negatif untuk rumah tangga dan pelaku bisnis.
Namun di tengah ancaman resesi ekonomi AS, beberapa pelaku pasar juga mulai mengantisipasi akan adanya pemangkasan suku bunga acuan pada 2023 nanti.
Dari dalam negeri, sentimen masih terkait kenaikan BBM bersubsidi. Pada Sabtu (3/9/2022), pemerintah akhirnya mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter, solar subsidi menjadi Rp 6.800 per liter dan Pertamax menjadi Rp 14.500 per liter.
Kenaikan harga BBM tidak melulu berdampak negatif. Riset Bahana Sekuritas menyebut kenaikan harga BBM akan menciptakan kepastian di pasar. Tidak ada lagi yang menebak-nebak.
Meski inflasi Indonesia bisa menyentuh kisaran 6-7%, riset Bahana memperkirakan aksi jual terhadap aset-aset keuangan akan terbatas. Sebab, bagaimanapun inflasi Indonesia masih di bawah negara-negara lain. Di Inggris, misalnya, inflasi mencapai 10,1% pada Juli 2022.
Sementara, riset BRIDanareksa Sekuritas melakukan asesmen terhadap dampak dari kenaikan harga BBM subsidi ini. Dampak paling nyata dari kenaikan harga BBM subsidi tentu adalah inflasi.
Dalam risetnya, BRIDanareksa Sekuritas memperkirakan inflasi bisa naik ke 6,73%year-on-yeardi bulan Oktober 2022. Kenaikan inflasi tersebut akan memicu kebijakan moneter yang lebih ketat dengan ekspektasi kenaikan suku bunga di kisaran 75-100 basis poin (bps) tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum) Next Article IHSG Dibuka Meyakinkan, Balik ke Level 7.300