Biar Enggak Panik, Simak Deretan Sentimen Pasar Pekan Depan!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam minggu ini dengan kinerja positif dibukukan bursa saham nasional mampu menguat ditopang oleh dana asing yang ternyata masih mengalir ke bursa domestik. Sementara rupiah malah keok karena pernyataan bos The Fed yang memberi sinyal masih akan menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
Pekan ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memang menguat tipis 0,59% ke 7.177,18, akan tetapi belum mampu bertahan di atas level psikologis 7.200.
Asing mencatatkan net buy saham sebesar Rp 1,88 triliun di pasar reguler. Sedangkan di pasar negosiasi asing net sell Rp 378 miliar sehingga secara neto asing membeli Rp 1,5 triliun.
Sementara itu rupiah cenderung tak berkutik di hadapan dolar AS pekan ini. Di pasar spot, dalam sepekan rupiah melemah 0,54% di hadapan dolar AS dan ditutup di Rp 14.895/US$. Di saat yang sama indeks dolar AS juga menguat lebih dari setengah persen dan mencicipi posisi 109,53.
Pasar tampakya masih terus dibayangi dengan pernyataan bos besar The Fed Jerome Powell dalam Simposium Tahunan Jackson Hole pekan lalu soal arah kebijakan suku bunga bank sentral AS tersebut.
Apa yang disampaikan oleh Jay Powell kurang lebih memberi sinyal bahwa ke depan ruang untuk kenaikan suku bunga acuan masih terbuka.
The Fed juga menyampaikan tengah bersiap untuk mengambil kebijakan yang cukup restriktif untuk mengembalikan inflasi ke kisaran target 2%, meskipun harus berdampak negatif untuk rumah tangga dan pelaku bisnis.
Naiknya harga BBM ini akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi sejumlah emiten. |
Sejumlah Sentimen Ini Dapat Mempengaruhi Pasar Pekan Depan
Pekan depan ada beberapa hal yang wajib diperhatikan oleh para investor, dengan sentimen utama dan paling signifikan berasal dari dalam negeri.
Pertama tentu saja terkait kenaikan BBM dan Solar subsidi yang diumumkan oleh pemerintah dan mulai berlaku sejak Sabtu, 3 September pukul 14.30 WIB.
Pemerintah mengungkapkan Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter, Solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 dan Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.
Naiknya harga BBM ini akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi sejumlah emiten. Dampak tersebut dapat terjadi dari membengkaknya biaya operasi hingga outlook negatif yang membayangi imbas dari kenaikan harga BBM subsidi.
Secara jangka menengah, investor juga patut menyimak potensi pergerakan angka inflasi dan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Pekan ini, BPS mengumumkan laju inflasi mulai melambat turun menjadi 4,69% secara tahunan (yoy) pada bulan Agustus. Angka ini turun dari catatan bulan Juli yang mana tingkat inflasi tahunan mencapai 4,94%.
Sementara itu secara month-to-month (mtm), harga barang-barang tercatat mengalami penurunan dari bulan sebelumnya. BPS mengungkapkan pada bulan Agustus terjadi deflasi sebesar 0,21% (mtm).
Meski demikian angka ini berpotensi kembali naik setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi. Angka inflasi yang berpotensi naik membuka peluang bagi bank sentral untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya.
Bulan lalu, untuk pertama kalinya dalam satu setengah tahun Bank Indonesia menaikkansuku bunga acuannya. BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DDR) dikerek sebanyak 25 bps menjadi 3,75%,
Kebijakan moneter itu disebut merupakan langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Pejabat bank sentral tentu masih akan menunggu respons pasar akan kenaikan harga BBM subsidi ini dengan tidak menutup kemungkinan suku bunga kembali naik. Bulan ini Rapat Dewan Gubernur (RDG) akan dilakukan pada minggu ketiga atau tanggal 21-22 September.
OPEC+ kemungkinan akan mempertahankan kuota produksi minyak. Namun, Arab Saudi menyatakan organisasi tersebut dapat memangkas produksi jika Iran mencapai kesepakatan nuklir dengan Barat |
Selanjutnya salah satu sentimen global yang patut diperhatikan investor adalah perkembangan lockdown dan pandemi covid secara lebih luas di China.
Pembatasan mobilitas ekonomi terbesar kedua dunia dan partner dagang terbesar RI ikut membuat harga sejumlah komoditas global tertekan. Salah satunya CPO yang merupakan komoditas unggulan Tanah Air.
Permintaan lesu di China ikut menghantam harga minyak dunia yang pekan ini turun nyaris 8% dan menjauhi level psikologis US$ 100/barel. Alhasil, Investor patut menyimak pertemuan kartel minyak OPEC+ pada hari Senin, yang diharapkan memberikan panduan untuk rencana produksi minyak mulai Oktober.
OPEC+ kemungkinan akan mempertahankan kuota produksi minyak. Namun, Arab Saudi menyatakan organisasi tersebut dapat memangkas produksi jika Iran mencapai kesepakatan nuklir dengan Barat yang membuat pasokan minyak dari Iran akan melimpah ke pasar global karena telah terbesar dari sanksi.
Selanjutnya kondisi perang di Eropa Timur masih tetap menjadi perhatian dengan krisis energi tampaknya semakin parah. Setelah pasokannya dipotong 20% dan perbaikan selama dua hari, terbaru Moskow belum dapat memberikan waktu pasti kapan gas akan kembali mengalir melalui pipa Nord Stream 1.
Hal ini membuat sejumlah negara Eropa resah karna cadangan pada penyimpanan untuk menghadapi musim dingin belum terpenuhi. Alhasil sejumlah sumber energi alternatif harganya ikut terdorong, termasuk batu bara yang kian mendekati level tertinggi.
Sentimen dari ekonomi terbesar dunia relatif sepi pekan depan. Salah satu yang penting dicermati Investor dari AS adalah pidato dari beberapa pejabat Fed, termasuk Ketua Fed Powell di Konferensi Moneter Tahunan ke-40 Cato Institute pada hari Kamis.
Dari kawasan lain di Amerika Utara, bank sentral Kanada diperkirakan akan kembali memberikan kenaikan suku bunga 75 bps, menyusul kenaikan 100 bps atau lebih tinggi dari perkiraan pada bulan Juli lalu.
Di Eropa, ECB akan memutuskan kebijakan moneter pada hari Kamis, dengan pasar mengantisipasi setidaknya kenaikan 50 bps dalam biaya pinjaman karena tingkat inflasi yang masih belum turun. Pembacaan awal menunjukkan tingkat inflasi di Kawasan Euro meningkat lebih dari yang diharapkan ke rekor tertinggi baru sebesar 9,1% pada bulan Agustus, meningkatkan kemungkinan kenaikan suku bunga sebesar 75 bps.
Di Australia, RBA diharapkan untuk menaikkan suku bunga sebesar 50 bps dalam pertemuan keempat beruntun untuk mengekang inflasi yang berada di level tertinggi 21 tahun.
Terakhir dari Cina, inflasi konsumen diperkirakan mencapai 2,8% di bulan Agustus, meningkat dari level tertinggi satu tahun yang disentuh di bulan sebelumnya karena melonjaknya harga pangan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/fsd)