Suku Bunga The Fed Bisa di Atas 4%, Rupiah Melemah Lagi!
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekspektasi tingginya suku bunga di Amerika Serikat (AS) membuat rupiah kembali melemah pada perdagangan Jumat (2/9/2022). Padahal ada kabar baik dari dalam negeri.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah tercatat melemah 0,1% ke Rp 14.895/US$ di pasar spot.
Tekanan besar dari ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang masih tetap agresif menaikkan suku bunga, meski akan berujung resesi di Amerika Serikat. Ketua The Fed, Jerome Powell menegaskan komitmennya untuk membawa inflasi turun ke 2%.
"Menurunkan inflasi perlu periode pertumbuhan ekonomi di bawah tren yang berkelanjutan. Dengan suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan pasar tenaga kerja yang melemah akan membawa inflasi turun. Itu adalah harga yang harus kita bayarkan untuk mengurangi inflasi. Tetapi, kegagalan untuk memulihkan stabilitas harga akan menimbulkan penderitaan yang lebih besar," kata Powell dalam acara simposium Jackson Hole, Jumat (26/8/2022).
Presiden The Fed wilayah Cleveland, Loretta Mester pada hari Rabu mengatakan ia melihat suku bunga bisa naik ke atas 4% di awal tahun depan.
Suku bunga The Fed saat ini di 2,25% - 2,5%, dengan 3 kali rapat kebijakan moneter di tahun ini, kemungkinan kenaikan 75 basis poin di bulan ini sangat mungkin terjadi.
"Pandangan saya saat ini, diperlukan suku bunga naik di atas 4% awal tahun depan dan bertahan di level tersebut. Saya juga tidak melihat The Fed akan memangkas suku bunga pada tahun depan," kata Mester sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (31/8/2022).
Dengan kenaikan tersebut, Mester melihat pertubuhan ekonomi akan turun, jauh di bawah 2%, sementara tingkat pengangguran akan mengalami kenaikan. Inflasi di tahun ini diperkirakan sebesar 5% - 6% dan mendekati target The Fed 2% dalam beberapa tahun ke depan.
Pasar finansial juga diperkirakan akan tetap volatil. Hal tersebut tentunya lebih menguntungkan bagi dolar AS yang menyandang status safe haven.
Sementara itu kabar baik dari dalam negeri datang dari S&P Global yang melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur naik menjadi 51,7 pada Agustus, dari bulan sebelumnya 51,3.
Kenaikan tersebut menjadi kabar bagus, artinya roda perekonomian Indonesia berputar lebih kencang.
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data indeks harga konsumen (IHK) Indonesia periode Agustus 2022. Secara bulanan memang terjadi deflasi, tetapi secara tahunan inflasi tetap berada di level tinggi.
Pada Kamis (1/9/2022), Kepala BPS Margo Yuwono melaporkan terjadi deflasi 0,21% pada Agustus 2022 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Kali terakhir terjadi deflasi adalah Februari 2022.
Namun dibandingkan Agustus 2021 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 4,69%. Meski masih relatif tinggi, tetapi melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang 4,94%, yang merupakan level tertinggi dalam 7 tahun terakhir.
Dunia sedang mengalami masalah inflasi tinggi, termasuk Indonesia meski bisa dikatakan masih terkendali. Sehingga, ketika terjadi deflasi atau melambatnya inflasi, maka akan memberikan sentimen positif ke pasar finansial.
Meski demikian, pelaku pasar saat ini menanti kepastian mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar. Sempat beredar kabar akan ada kenaikan pada 1 September. Tetapi sampai saat ini belum ada pengumuman dari pemerintah.
Pelaku pasar pun memilih wait and see, yang membuat rupiah sulit menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)