Bursa Asia Ambruk Lagi! Cuma Bursa Singapura yang Selamat

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
01 September 2022 17:00
A woman walks by an electronic stock board of a securities firm in Tokyo, Monday, Dec. 2, 2019. Asian stock markets have risen after Chinese factory activity improved ahead of a possible U.S. tariff hike on Chinese imports. Benchmarks in Shanghai, Tokyo and Hong Kong advanced. (AP Photo/Koji Sasahara)
Foto: Bursa Jepang (Nikkei). (AP Photo/Koji Sasahara)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup di zona merah pada perdagangan Kamis (1/9/2022), karena investor mencerna rilis beberapa data ekonomi di kawasan Asia-Pasifik pada hari ini dan isu resesi global.

Hanya indeks Straits Times Singapura yang ditutup menguat tipis pada hari ini, yakni naik tipis 0,07% ke posisi 3.224,08.

Sedangkan sisanya ditutup di zona merah. Indeks Nikkei Jepang ditutup ambles 1,53% ke posisi 27.661,47, Hang Seng Hong Kong ambrol 1,86% ke 19.582,88, Shanghai Composite China melemah 0,54% ke 3.184,98, ASX 200 Australia ambruk 2,02% ke 6.845,6, KOSPI Korea Selatan anjlok 2,28% ke 2.415,61, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terkoreksi 0,36% menjadi 7.153,1.

Dari China, data aktivitas manufaktur pada periode Agustus 2022 versi Caixin dilaporkan turun. Data yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada bulan ini turun menjadi 49,5, dari sebelumnya di angka 50,4 pada bulan lalu.

Angka ini lebih rendah dari prediksi pasar yang sebelumnya memperkirakan PMI manufaktur China versi Caixin pada bulan ini yang turun 50,2.

Artinya, PMI manufaktur China, baik versi NBS maupun versi Caixin berada di zona kontraksi. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.

Masih berkontraksinya manufaktur Negeri Panda disebabkan karena China masih menerapkan kebijakan nol Covid-19 atau zero Covid.

Negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu masih saja menerapkan kebijakan tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap Covid-19. Saat ada kluster penularan, maka jalan keluarnya selalu melakukan karantina wilayah alias lockdown.

Ini membuat perekonomian Negeri Panda maju-mundur. Saat 'keran' aktivitas masyarakat mulai dibuka, ekonomi mulai bergeliat, beberapa waktu kemudian 'digembok' lagi. Alhasil, industri di China kembali lesu.

Sementara itu dari Korea Selatan, data final dari pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2022 dilaporkan tidak berubah dari data perkiraan awal yakni sebesar 2,9% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Namun pada basis kuartalan (quarter-on-quarter/qoq), PDB final Negeri Ginseng pada kuartal II-2022 direvisi menjadi 0,7%, berdasarkan data dari bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BoK).

Angka ini sedikit lebih tinggi dari PDB kuartal I-2022 yang sebesar 0,6%, tetapi lebih lambat dari posisi PDB kuartal IV-2021 yang sebesar 1,3%.

Berdasarkan pengeluaran, konsumsi swasta naik 2,9%, sementara investasi konstruksi dan fasilitas tumbuh masing-masing 0,2% dan 0,5%. Namun untuk ekspor menyusut 3,1%.

Masih dari Korea Selatan, neraca perdagangan Korea Selatan pada periode Agustus 2022 dilaporkan defisit sebesar US$ 9,47 miliar atau setara dengan Rp 140,16 triliun.

Hal ini karena ekspor Negeri Ginseng pada Agustus 2022 turun menjadi 6,6% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 9,2% pada Juli 2022.

Namun, impor Negeri Ginseng pada bulan lalu naik menjadi 28,2% (yoy), dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 21,8%.

"Angka perdagangan terbaru untuk semikonduktor mencerminkan tekanan resesi dalam ekonomi global," kata Park Chong Hoon dari Standard Chartered Bank, Korea, mengatakan di acara "Squawk Box Asia" CNBC International.

Bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas terkoreksi terjadi karena investor cenderung khawatir dengan kondisi perekonomian global, di mana isu resesi global semakin 'santer' terdengar.

Isu resesi kembali mencuat setelah Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell menegaskan akan terus menaikkan suku bunga dan menahannya dalam waktu yang lama sampai inflasi kembali ke 2%.

Bank sentral lain juga akan mengikuti The Fed. Seperti bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang juga menunjukkan tanda-tanda akan agresif. Anggota dewan gubernur ECB, Madis Muller mengatakan ECB seharusnya mulai mendiskusikan kenaikan 75 basis poin (bp) di bulan September.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap) Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular