
Efek Buruk Suku Bunga Tinggi Terasa, Dolar Australia Jeblok!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia jeblok melawan rupiah pada perdagangan Selasa (30/8/2022), setelah data menunjukkan izin membangun jeblok di bulan Juli. Efek suku bunga tinggi mulai menunjukkan dampak buruknya bagi perekonomian.
Pada pukul 12:23 WIB, dolar Australia diperdagangkan di kisaran Rp 10.242/AU$, merosot 0,37% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Data dari Biro Statistik Australia menunjukkan izin membangun di bulan Juli turun 17,2% dari bulan sebelumnya.
Dengan demikian, izin membangun sudah menurun dalam dua bulan beruntun.
Suku bunga yang tinggi bisa menjadi salah satu penyebabnya. Ketika suku bunga acuan naik, maka suku bunga kredit akan naik. Suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) misalnya, sudah mengalami kenaikan, yang tentunya bisa berdampak pada penurunan permintaan rumah.
Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) sudah menaikkan suku bunga 4 bulan beruntun menjadi 1,85%, tertinggi dalam 6 tahun terakhir.
Menteri Keuangan Australia, Jim Chalmers, bahkan mengatakan kenaikan tersebut membuat hidup warga Australia jadi susah.
Dilaporkan, warga Australia yang memiliki nilai KPR AU$ 620.000, maka cicilannya akan naik sebesar AU$ 560. Cicilan tersebut tentunya akan semakin tinggi jika suku bunga terus naik.
"Kenaikan suku bunga tidak mengejutkan siapa pun, tetapi kami tetap melihat rumah tangga harus mengambil keputusan yang sulit untuk bisa menyeimbangkan anggaran rumah tangga. Apalagi saat ini sudah ada tekanan dari tingginya harga bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya," kata Chalmers.
Penurunan izin membangun juga menjadi sinyal pasar tenaga kerja yang melemah. Sebab ketika pekerjaan konstruksi berkurang, tenaga kerja yang digunakan juga akan lebih sedikit.
Hal tersebut terkonfirmasi dari rilis data tenaga kerja Australia. Pada Jumat (19/8/2022) lalu, Biro Statistik Australia melaporkan sepanjang bulan Juli terjadi PHK atau pun berhenti bekerja sebanyak 40.900 orang. Ini merupakan kali pertama terjadi sejak Oktober 2021.
"Ini pertama kalinya jumlah orang yang bekerja mengalami penurunan sejak Oktober 2021, setelah terjadi pelonggaranlockdownakibat Covid-19 varian Delta pada akhir 2021 lalu," kata Bjorn Jarvis, kepala Biro Statistik Australia, sebagaimana dilansir ABC News.
PHK paling parah terjadi pada April 2020 lalu, di saat awal pandemi Covid-19. Saat itu, lebih dari 600 ribu orang dirumahkan. Bulan berikutnya, nyaris 280 ribu orang juga dirumahkan.
Ekonom senior di AMP Capital, Diana Mousiana, mengatakan rilis data tersebut menjadi indikasi awal jika pasar pasar tenaga kerja sudah mencapai puncaknya.
"Saya rasa kita berada di titik balik perekonomian, di mana data menunjukkan sentimen konsumen, tingkat keyakinan bisnis, leading indikator, sudah mulai melambat," kata Mousiana.
"Beberapa leading indikator pertumbuhan tenaga kerja juga melambat, seperti niat untuk merekrut karyawan, hingga pembukaan lapangan kerja," tambahnya.
Mousiana menilai, rilis data tenaga kerja seharusnya membuat RBA untuk memberikan jeda kenaikan suku bunga pada bulan depan.
"Saya pikir ada manfaatnya untuk bagi RBA untuk memperlambat laju kenaikan suku bunga dan melihat dampaknya ke konsumen serta perekonomian yang lebih luas," ujar Mousiana.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
