Resah Harga Pertalite & Solar, Awas Rupiah Bisa jadi Korban
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dikabarkan akan melakukan penyesuaian bahan bakar minyak (BBM) subsidi Pertalite dan Solar yang mulai berlaku 1 September 2022. Jika kebijakan tersebut jadi dilakukan maka akan berpotensi membuat rupiah tertekan.
Pengamat Ekonomi yang juga Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menenilai kenaikan harga BBM akan memicu inflasi yang lebih tinggi. Jika pemerintah menaikkan harga jual Pertalite menjadi Rp 10.000/liter dan solar menjadi Rp 8.500/liter, maka ada potensi inflasi lebih dari 7%.
"Imbasnya inflasi yang tinggi akan melemahkan nilai tukar rupiah, karena tingkat risiko dipersepsikan meningkat. Sementara ada kekhawatiran moderasi harga-harga komoditas yang menurun menimbulkan kekhawatiran surplus perdagangan dalam menopang penguatan rupiah tidak berlangsung lama," kata Bhima kepada CNBC Indonesia.
Bhima memprediksi nilai tukar rupiah bisa ke level Rp 15.000-Rp 15.500/US$.
Seperti diberitakan sebelumnya, CNBC Indonesia mendapatkan kabar kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar Subsidi ini akan diumumkan pada 31 Agustus ini, dan harga baru kedua BBM tersebut akan berlaku pada 1 September 2022 ini.
Dari sumber tersebut juga, kemungkinan kenaikan harga BBM Pertalite di SPBU Pertamina masih akan berada di bawah Rp 10.000 per liter dengan range kenaikan Rp 1.000 sampai Rp 2.500 dari harga yang saat ini Rp 7.650 per liter.
"Kemungkinan di bawah Rp 10.000/liter," kata sumber tersebut dikutip Selasa (30/8/2022).
Jika harga Pertalite Rp 10.000/liter atau sedikit di bawahnya, artinya kenaikannya dari harga saat ini sebesar 30%. Berkaca dari 2013 dan 2014, saat pemerintah menaikkan harga BBM Premium sekitar 30%, nilai tukar rupiah merosot, sebab inflasi melesat ke atas 8%.
Di akhir Oktober 2014, sebelum kenaikan BBM Premium, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Agustus. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.
Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% year-on-year (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).
Selain itu kenaikan BBM, rilis data inflasi Indonesia serta data tenaga kerja Amerika Serikat akan menjadi perhatian utama.
Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR mulai berbalik arah dan menguat pada pekan lalu setelah menyentuh resisten kuat Rp 14.885/US$ hingga Rp 14.890/US$ yang merupakan rerata pergerakan 50 hari (moving average 50/MA50), mampu menahan pelemahan rupiah dan berbalik menguat tajam Selasa (23/8/2022).
Rupiah sebelumnya sempat melemah 5 hari beruntun yang membuatnya kembali ke atas Rp 14.730/US$, yang merupakan Fibonacci Retracement 61,8%.
Fibonacci Retracement tersebut ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Stochastic bergerak naik tetapi belum mencapai wilayah jenuh beli, sehingga tekanan bagi rupiah cukup besar.
Resisten terdekat kini berada di Rp 14.850/US$, jika ditembus rupiah berisiko melemah dan menguji MA 50 lagi di kisaran Rp 14.895/US$ - Rp 14.900/US$.
Jika MA 50 ditembus dan rupiah tertahan di atasnya, rupiah berisiko merosot di pekan ini.
Sementara itu support terdekat berada di kisaran Rp 14.800/US$. Penembusan ke bawah level tersebut akan membawa rupiah ke Rp 14.770/US$, sebelum menuju support kuat Rp 14.730/US$. Jika level tersebut bisa ditembus, rupiah berpeluang menguat lebih tajam.
(hps/hps)