
Rupiah Jeblok Saat Jokowi Tebar Bansos, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah jeblok melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (29/8/2022). Sinyal-sinyal harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar akan dinaikkan semakin kuat, rupiah pun tertekan.
Melansir data Refinitiv, rupiah langsung jeblok 0,24% ke Rp 14.850/US$ begitu perdagangan dibuka. Sempat memangkas pelemahan hingga tersisa 0,03%, rupiah malah berbalik terpuruk ke Rp 14.900/US$, atau 0,57%.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.895/US$, melemah 0,54% di pasar spot.
Informasi yang diterima oleh CNBC Indonesia, kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar Subsidi ini akan diumumkan pada 31 Agustus ini, dan harga baru kedua BBM tersebut akan berlaku pada 1 September 2022 ini.
"Pada hari Senin (29/8/2022) akan ada rapat lanjutan mengenai tindak lanjut rapat-rapat sebelumnya," ungkap sumber tersebut kepada CNBCIndonesia, Sabtu (27/8/2022).
Sementara itu, dari sumber tersebut juga, kemungkinan kenaikan harga BBM Pertalite di SPBU Pertamina masih akan berada di bawah Rp 10.000 per liter dengan range kenaikan Rp 1.000 sampai Rp 2.500 dari harga yang saat ini Rp 7.650 per liter.
"Kemungkinan di bawah Rp 10.000/liter," kata sumber tersebut.
Sinyal kenaikan Pertalite semakin menguat setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menebar bantuan sosial (bansos) sebagai bantalan dari dana pengalihan subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM). Totalnya adalah 24,17 triliun.
"Kami baru saja membahas mengenai pengalihan subsidi BBM," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Senin (29/8/2022)
"Jadi dalam hal ini masyarakat yang akan mendapatkan bansos dalam hal ini dalam rangka meningkatkan daya beli mereka terutama dalam beberapa waktu terakhir," ujarnya.
Jika harga Pertalite Rp 10.000/liter atau sedikit di bawahnya, artinya kenaikannya dari harga saat ini sebesar 30%. Berkaca dari 2013 dan 2014, saat pemerintah menaikkan harga BBM Premium sekitar 30%, nilai tuka rupiah merosot, sebab inflasi melesat ke atas 8%.
Di akhir Oktober 2014, sebelum kenaikan BBM Premium, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Agustus. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.
Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% year-on-year (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).
Di sisi lain, ketua The Fed Jerome Powell membuat pasar ketar-ketir sejak Jumat pekan lalu. Ia menegaskan masih akan terus menaikkan suku bunga dengan agresif hingga inflasi melandai. Bahkan, ia memperingatkan perekonomian Amerika Serikat akan mengalami "beberapa rasa sakit".
"Saat suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi melambat, dan pasar tenaga kerja yang melemah maka akan membawa inflasi turun, itu juga akan memberikan beberapa kesakitan bagi rumah tangga dan dunia usaha. Itu adalah biaya yang harus kita tanggung guna menurunkan inflasi. Memang menyakitkan, tetapi kegagalan menurunkan inflasi berarti penderitaan yang lebih besar akan terjadi," kata Powell dalam acara simposium Jackson Hole, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/8/2022).
Ia juga mengatakan suku bunga akan ditahan di level tinggi dalam waktu yang lama sampai inflasi mencapai target 2%.
"Memulihkan stabilitas harga kemungkinan membutuhkan stance yang ketat dalam waktu yang lama. Catatan sejarah sangat menentang pelonggaran kebijakan moneter yang prematur," ujarnya.
Suku bunga akan terus dikerek dan ditahan di level tinggi dalam waktu yang lama tentunya menjadi kabar buruk bagi rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
