Ini Alasan RI Tidak Cetak Uang buat Bayar Utang "Segunung"

Teti Purwanti, CNBC Indonesia
29 August 2022 08:45
Warga mengantre untuk menukarkan uang Rupiah kertas baru Tahun Emisi (TE) 2022 di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, Rabu (24/8/2022). Pemerintah melalui Bank Indonesia secara resmi mengeluarkan tujuh uang kertas baru tahun emisi 2022. Uang kertas baru ini terdiri dari pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, Rp 20.000, Rp 10.000, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Warga mengantre untuk menukarkan uang Rupiah kertas baru Tahun Emisi (TE) 2022 di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, Rabu (24/8/2022). Pemerintah melalui Bank Indonesia secara resmi mengeluarkan tujuh uang kertas baru tahun emisi 2022. Uang kertas baru ini terdiri dari pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, Rp 20.000, Rp 10.000, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak orang beranggapan mencetak uang lebih banyak saja demi melunasi utang. Padahal hal itu belum sepenuhnya benar.

Untungnya, baru-baru ini Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa utang pemerintah Indonesia kepada negara-negara luar (ULN) mengalami penurunan. Penurunan ULN itu terjadi selama empat bulan beruntun.

Berdasarkan catatan BI ULN pada akhir Juni sebesar US$ 403 miliar atau sekitar Rp 5.919 triliun (kurs Rp 14.688/US$). Jumlah tersebut turun dari bulan sebelumnya yang lebih dari US$ 406 miliar.

Jika dilihat secara kuartalan, ULN pada kuartal II-2022 mengalami kontraksi sebesar 2,33% dari kuartal I-2022. Sementara jika dilihat dari kuartal II-2021, kontraksi tercatat sebesar 3,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih besar dari kuartal sebelumnya yang mengalami kontraksi 0,9% (yoy).

Pada pekan lalu pemerintah baru saja menerbitkan uang emisi tahun 2022. Lalu mengapa pemerintah tidak mencetak uang saja demi membayar utang? Berikut jawabannya, seperti yang dikutip dari detikcom.

Muncul Utang

Secara teknik, ketika pemerintah mencetak uang, maka dalam neraca pemerintah juga akan muncul 'kewajiban' berupa utang, seperti dikutip dari Rerangka Dasar Akuntansi Berdasarkan Syariah oleh Ihda Arifin Faiz.

Apabila uang yang dicetak tidak ditopang komoditas, maka pertambahan neraca pemerintah di sisi aset dengan bertambahnya uang menjadi ilusi semata. Sebab, faktanya, pemerintah tidak punya apa-apa untuk membayar utang tersebut.

Kondisi ini salah satunya terjadi di Argentina. Negara ini mencetak uang baru dengan nilai 54% dari pendapatannya, lalu naik jadi 86% pada tahun 1985-1990. Alhasil, nilai peso terus melemah dan tidak stabil. Masyarakat akhirnya tidak percaya peso dan mulai pindah ke mata uang dolar AS.

Nilai Uang Tidak Berarti

Jika makin banyak uang yang beredar tidak diikuti dengan makin banyak barang yang ada di pasar, maka harga barang tersebut naik lebih tinggi karena jadi lebih langka dan dicari. Alhasil, nilai uang yang sudah dicetak banyak malah jadi tidak berarti.

Inflasi

Inflasi muncul saat penggunaan uang tidak ditopang komoditas. Contoh, Inggris dan Jerman merasakan inflasi ini saat negaranya tidak ditopang emas sekitar awal 1900-an, namun mencetak uang demi membiayai perang.

Pada 1914, Bank of England menerbitkan uang kertas dengan pertumbuhan 41,2% untuk membiayai kebutuhan perang. Alhasil, inflasi naik jadi 13,5%.

Kondisi inflasi juga terjadi di Jerman saat masa Perang Dunia I. Kebutuhan dana yang besar untuk perang membuat Jerman meninggalkan emas sebagai mata uang Mark. Alhasil, harga komoditas naik pada 1923.

Harga sepotong roti saat perang di Jerman bahkan mencapai 200 miliar Mark. Ibu-ibu Jerman saat itu menjadikan uang kertas Mark sebagai bahan bakar karena nilainya lebih rendah dari kayu bakar.

Nah, itu dia penyebab kenapa negara tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya agar bebas utang. Alih-alih bebas, pencetakan uang yang tidak terkendali justru membuat utang negara bertambah dan harga barang naik di mana-mana.


(RCI/dhf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini 3 Cara Lunasi Utang dengan Cepat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular