Isu Kenaikan BBM Si Biang Kerok, IHSG Gagal Menguat 6 Pekan
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri laju positifnya di pekan ini. Penyebabnya, isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar.
Melansir data Refinitiv, dalam sepekan HSG tercatat melemah 0,52% ke Rp 7.135,248. Dengan demikian, IHSG gagal mencatat penguatan 6 pekan beruntun. Sebelumnya bursa kebanggaan Tanah Air ini sudah menguat 5 pekan beruntun dengan total 7,8%.
Meski melemah, investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih senilai US$ 1,6 triliun di pasar reguler, nego dan tunai.
Isu kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar menguat setelah Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, pada minggu lalu mengatakan pemerintah akan mengumumkan harga BBM di pekan ini.
Alhasil, IHSG langsung jeblok 0,9% di awal pekan ini. Kenaikan harga BBM subsidi bisa memicu inflasi yang tinggi, yang tentunya berdampak buruk bagi perekonomian.
Namun, hingga Jumat kemarin pemerintah tidak mengumumkan kenaikan tersebut.
Sumber dari lingkup pemerintahan kepada CNBC Indonesia mengatakan masalah kenaikan harga BBM subsidi masih dibicarakan, dan memberikan sedikit bocoran kenaikan harga.
"Kemungkinan di bawah Rp 10.000/liter," kata sumber tersebut, pada Jumat (26/8/2022).
Bahana Sekuritas dalam catatannya kepada investor mengungkapkan bahwa banyak investor saham dan obligasi yang memperkirakan koreksi pasar dari kenaikan harga BBM akan bersifat sementara.
"Walaupun kebijakan tersebut dapat meningkatkan inflasi, menaikkan suku bunga, dan merugikan konsumsi rumah tangga dalam jangka pendek, kebijakan tersebut akan menghilangkan kebijakan menggantung yang membuat orang asing enggan membeli aset dalam rupiah," papar Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro dan tim dalam tulisannya, Jumat (26/8/2022).
Jika BBM benar dinaikkan, maka investor asing diperkirakan akan happy.
Sejauh ini, investor asing memandang bahwa rendahnya inflasi di Indonesia sebagai hal yang artificial karena pemerintah mengelontorkan subsidi jumbo untuk mengamankan harga energi.
Pandangan ini melekat karena Indonesia telah menjadi negara pengimpor minyak bersih yang secara konsisten mencatat defisit fiskal dan menghabiskan lebih dari 15% pendapatan negaranya hanya untuk mensubsidi bahan bakar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/luc)