
BI Akhirnya Kerek Suku Bunga, Bakal Nyusahin Rakyat Jelata?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kejutan datang dari Bank Indonesia (BI) Selasa kemarin yang mengerak suku bunga acuannya. Ketika suku bunga acuan naik, maka suku bunga kredit akan ikut naik, meski tidak selalu demikian. Kenaikan pun tidak langsung terjadi, ada masa transmisi kurang lebih 6 bulan.
Gubernur BI Perry Warjiyo dan kolega kemarin menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,5%," ungkap Perry dalam jumpa pers usai RDG BI Agustus, Selasa (23/8/2022).
Ini menjadi kenaikan suku bunga pertama sejak November 2018 lalu. Pada tahun itu, BI sangat agresif dalam menaikkan suku bunga, guna mengimbangi kenaikan yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang Federal Reserve (The Fed).
BI saat itu tercatat menaikkan suku bunga sebanyak 5 kali dengan total 175 basis poin menjadi 6%.
Yang menarik, meski BI menaikkan suku bunga dengan agresif, tetapi suku bunga kredit justru terus menurun.
Berdasarkan data dari CEIC, rata-rata suku bunga kredit konsumsi di Indonesia pada awal 2018 sebesar 12,64%, setelahnya malah terus menurun. Di akhir 2018 berada di 11,73%, kemudian di akhir 2019 11,62%.
Hingga Juli tahun ini, suku bunga kredit konsumsi berada di 10,28%.
Artinya, meski BI mengerek suku bunga acuannya sebanyak 175 basis poin di 2018, tidak serta merta diikuti kenaikan suku bunga kredit.
Hal yang sama juga terjadi pada kredit modal kerja dan kredit investasi. Di awal 2018 rata-rata suku bunga keduanya masing-masing 10,72% dan 10,51%, sementara pada Juli 2022 berada di 8,4% dan 8,16%.
Namun, jika dari 2014 lalu kenaikan suku bunga acuan BI saat itu membuat suku bunga kredit juga naik.
Kunci suku bunga kredit naik atau tidak ada di likuiditas perbankan. Selama likuiditas masih cukup longgar, suku bunga kredit berpeluang belum akan naik. Hal tersebut juga diungkapkan Perry Warjiyo.
"Pada Juli 2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi mencapai 27,92%, sehingga tetap mendukung kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit," papar Perry
AL/DPK tersebut jauh lebih tinggi ketimbang sebelum pandemi di kisaran 21%.
Perry pun mengklaim suku bunga bank dalam tren menurun, namun penurunannya makin terbatas.
"Suku bunga deposito 1 bulan perbankan turun sebesar 54 bps sejak Juli 2021 menjadi 2,89% pada Juli 2022. Di pasar kredit, suku bunga kredit menunjukkan penurunan 53 bps pada periode yang sama menjadi 8,94%," katanya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Antisipasi Kenaikan BBM?
Dalam pengumuman hasil RDG kemarin, Perry menyebut salah satu alasan menaikkan suku bunga acuan adalah langkah pre-emtif terhadap ekspektasi percepatan laju inflasi. Sebagai informasi, inflasi nasional per Juli 2022 sudah mencapai 4,94% year-on-year (yoy), tertinggi sejak 2017.
"Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi dan inflasivolatile food, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat," papar Perry.
Kenaikan BBM memang bisa memicu inflasi, apalagi yang dinaikkan jenis Pertalite yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.
Kenaikan suku bunga acuan seakan menjadi 'kode keras' bahwa BI sudah berekspektasi inflasi bakal lebih tinggi akibat kenaikan harga Pertamax dkk.Sehingga, langkah BI menaikkan suku bunga guna meredam inflasi bisa memberikan dampak baik ke masyarakat, daya beli akan tetap terjaga, tentunya dengan catatan suku bunga kredit tidak ikut naik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bunga Kredit Turun Nyaris ke Bawah 9%, Tapi Akan Naik Tinggi?
