Pasar Bisa Gonjang-ganjing Gegara Jackson Hole, Apa Itu?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 August 2022 17:20
The United State flag is silhouetted against the setting sun Sunday, May 28, 2017, in Leavenworth, Kan. (AP Photo/Charlie Riedel)
Foto: Bendera Amerika Serikat (AP Photo/Charlie Riedel)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street ambrol pada perdagangan Senin (22/8/2022) waktu setempat. Salah satu penyebabnya yakni simposium Jackson Hole di Amerika Serikat yang akan dimulai Kamis (25/8/2022) dan berlangsung selama 3 hari.

Wall Street terpuruk pada perdagangan Senin, dengan indeks Dow Jones minus nyaris 2%, S&P 500 dan Nasdaq masing-masing jeblok 2,14% dan 2,55%.
Jebloknya Wall Street merembet ke Asia. Indeks Nikkei Jepang dan Kospi Korea Selatan merosot lebih dari 1%, kemudian Hang Seng Hong Kong minus 0,8%, dan Shanghai Composite turun tipis kurang dari 0,1%.

Beruntung, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu mencatat penguatan 0,78%, begitu juga rupiah yang berbalik menguat melawan dolar AS dan menjadi yang terbaik di Asia. Penyebabnya, Bank Indonesia (BI) yang mengejutkan pasar dengan menaikkan suku bunga.

"Hal ini (penguatan IHSG) mengindikasikan bahwa pasar sudah mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan ini. Sebab, meski ada kenaikan suku bunga acuan sebagai antisipasi kenaikan inflasi, tapi BI masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi di 4,5-5,3% yoy di 2022," tulis analis Mandiri Sekuritas dalam risetnya, Selasa (23/8/2022).

Meski demikian, bukan berarti pasar finansial dalam negeri bisa tenang di pekan ini. Gonjang-ganjing bisa terjadi jika pasar finansial AS turut bergejolak merespon simposium Jackson Hole.

Simposium acara tahunan tersebut dihadiri oleh pimpinan bank sentral, menteri keuangan, akademisi hingga praktisi pasar finansial dari berbagai negara.

Pertemuan ini diadakan oleh Federal Reserve (The Fed) wilayah Kansas City di wilayah Jackson Hole, Wyoming.

Simposium Jackson Hole ke 45 tahun ini mengusung tema "Reassessing Constraints on the Economy and Policy".

Dalam simposium tersebut, para peserta yang hadir akan membahas isu-isu perekonomian dunia saat ini.

Nah, hal inilah yang bisa membuat pasar finansial dunia gonjang-ganjing. Seperti diketahui, perekonomian dunia saat ini menghadapi masalah tingginya inflasi. Bank sentral di berbagai negara sudah mengerek suku bunga dengan sangat agresif guna meredam inflasi.

Bank Indonesia (BI) juga baru saja mengerek suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 3,75%.

Masalahnya, meski bank sentral di negara maju sangat agresif menaikkan suku bunga, inflasi belum juga menurun. Sehingga kekhawatiran akan resesi hingga stagflasi menghantui dunia.

Pasar menanti pernyataan ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell pada simposium Jackson Hole pekan ini, terutama terkait dengan inflasi.

Seandainya Powell menyatakan inflasi belum mencapai puncaknya, maka akan berdampak buruk ke pasar finansial. The Fed kemungkinan masih akan sangat agresif menaikkan suku bunga di bulan depan.

The Fed sejauh ini sudah 4 kali menaikkan suku bunga dengan total 225 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pun sudah mulai menurun di Amerika Serikat, pada Juli tercatat sebesar 8,5% year-on-year (yoy), turun dari bulan sebelumnya 9,1%. Tetapi masih belum pasti apakah penurunan akan terus berlanjut atau justru malah kembali menanjak.

Tidak hanya The Fed, pasar juga menantikan pernyataan dari bank sentral utama lainnya yang juga mengalami masalah yang sama.

Dari Eropa, bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga sangat agresif menaikkan suku bunga. BoE sudah 5 kali menaikkan suku bunga, termasuk di awal bulan ini saat mengerek suku bunga 50 basis poin menjadi 1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1997.

Namun, inflasi di Inggris masih belum terkendali. Pada bulan Juli, inflasi melesat 10,1% (yoy) menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Tekanan inflasi tersebut masih akan terus berlanjut, BoE sendiri memprediksi inflasi akan mencapai puncaknya sebesar 13,3% pada Oktober nanti.

Citi lebih pesimistis lagi, inflasi diprediksi masih akan terus menanjak hingga menyentuh 18% di kuartal I-2023 akibat mahalnya harga energi.

Inflasi yang tinggi menggerus daya beli masyarakat, sementara suku bunga yang tinggi akan menunda ekspansi dunia usaha. Alhasil, perekonomian akan menjadi gelap.

Tidak hanya Inggris, Jerman juga diprediksi mengalami hal yang sama. Presiden Bundesbank, Joachim Nagel, mempredisi inflasi akan menembus dobel digit dan ke level tertinggi dalam 70 tahun terakhir.

Inflasi di Jerman sendiri pada bulan Juli tercatat sebesar 7,5% yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, sementara di zona euro sebesar 8,9% yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.

Meski demikian, Nagel mengatakan suku bunga harus terus dinaikkan meski risiko resesi semakin besar.

"Masalah inflasi tidak akan hilang di 2023. Disrupsi supply, tensi geopolitik masih akan berlanjut. Sementara Rusia mengurangi pasokan gas dengan drastis, harga gas alam dan listrik sudah naik lebih tinggi dari perkiraan," kata Nagel, sebagaimana dilansir Financial Times, Minggu (21/8/2022).

Nah, semua isu mengenai perekonomian dunia tersebut akan dibicarakan di simposium Jackson Hole. Para peserta juga bisa saling bertukar pikiran, sehingga pernyataan-pernyataan yang keluar dari simposium tersebut bisa berdampak besar ke pasar finansial dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Melesat! Rupiah Nyaris Tembus Rp 14.800/US$

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular