Gelap Ekonomi Dunia 2023 Makin Nyata, Datangnya dari Barat!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 August 2022 13:20
[DALAM] Resesi
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja akibat inflasi tinggi. Inflasi yang tak terkendali menyebabkan gangguan ekonomi, mulai dari resesi hingga stagflasi.

Di 2023, kondisi ekonomi nampaknya akan lebih sulit. Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody BudiWaluyo menjelaskan, stagflasi ditandai dengan kenaikan tajam inflasi di suatu negara. Risiko stagflasi tersebut akan dialami oleh banyak negara.

"Risiko stagflasi akan dialami banyak negara," kata Dody Budi Waluyo dalam Economic Update, CNBC Indonesia dikutip Kamis.

Inflasi yang tinggi melanda negara-negara Barat akibat harga energi yang gila-gilaan. Guna meredam inflasi, bank sentral sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.

Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) misalnya, sejauh ini sudah 4 kali menaikkan suku bunga dengan total 225 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. Inflasi pun sudah mulai menurun di Amerika Serikat, tetapi masih belum pasti apakah penurunan akan terus berlanjut atau justru melah kembali menanjak.

Dari Eropa, bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga sangat agresif menaikkan suku bunga. BoE sudah 5 kali menaikkan suku bunga, termasuk di awal bulan ini saat mengerek suku bunga 50 basis poin menjadi 1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1997.

Namun, inflasi di Inggris masih belum terkendali. Pada bulan Juli, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) melesat 10,1% (year-on-year/yoy) menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Tekanan inflasi tersebut masih akan terus berlanjut, BoE sendiri memprediksi inflasi akan mencapai puncaknya sebesar 13,3% pada Oktober nanti.

Citi lebih pesimistis lagi, inflasi diprediksi masih akan terus menanjak hingga menyentuh 18% di kuartal I-2023 akibat mahalnya harga energi.

Inflasi yang tinggi menggerus daya beli masyarakat, sementara suku bunga yang tinggi akan menunda ekspansi dunia usaha. Alhasil, perekonomian akan menjadi gelap.

Tidak hanya Inggris, Jerman juga diprediksi mengalami hal yang sama. Presiden Bundesbank, Joachim Nagel, memprediksi inflasi akan menembus dobel digit dan ke level tertinggi dalam 70 tahun terakhir. Inflasi di Jerman sendiri pada bulan Juli tercatat sebesar 7,5% yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, sementara di zona euro sebesar 8,9% yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.

Meski demikian, Nagel mengatakan suku bunga harus terus dinaikkan meski risiko resesi semakin besar.

"Masalah inflasi tidak akan hilang di 2023. Disrupsi supply, tensi geopolitik masih akan berlanjut. Sementara Rusia mengurangi pasokan gas dengan drastis, harga gas alam dan listrik sudah naik lebih tinggi dari perkiraan," kata Nagel, sebagaimana dilansir Financial Times, Minggu (21/8/2022).

Harga listrik di Jerman mencatat rekor tertinggi sepanjang masa, naik tujuh kali lipat dibandingkan tahun lalu. Penyebabnya, harga gas yang meroket 10 kali lipat.

Risiko resesi negara yang merupakan motor penggerak ekonomi Eropa ini semakin tinggi. Negara-negara lainnya juga berisiko ikut terseret.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> RI Harus Waspada, Negara Tetangga Sudah PHK Massal Akibat Inflasi

Seperti disebutkan sebelumnya, suku bunga tinggi akan menghambat ekspansi dunia usaha. Alhasil, pasar tenaga kerja akan terkena dampaknya. Semua gara-gara inflasi yang tinggi.

Australia sudah merasakan hal tersebut. Pada Jumat (19/8/2022) lalu, Biro Statistik Australia melaporkan sepanjang bulan Juli terjadi PHK sebanyak 40.900 orang. Ini merupakan kali pertama terjadi sejak Oktober 2021.

"Ini pertama kalinya jumlah orang yang bekerja mengalami penurunan sejak Oktober 2021, setelah terjadi pelonggaran lockdown akibat Covid-19 varian Delta pada akhir 2021 lalu," kata Bjorn Jarvis, kepala Biro Statistik Australia, sebagaimana dilansir ABC News.

Ekonom senior di AMP Capital, Diana Mousiana, mengatakan rilis data tersebut menjadi indikasi awal jika pasar pasar tenaga kerja sudah mencapai puncaknya.

"Saya rasa kita berada di titik balik perekonomian, di mana data menunjukkan sentimen konsmen, tingkat keyakinan bisnis, leading indikator, sudah mulai melambat," kata Mousiana.

"Beberapa leading indikator pertumbuhan tenaga kerja juga melambat, seperti niat untuk merekrut karyawan, hingga pembukaan lapangan kerja," tambahnya.

Inflasi yang tinggi memaksa bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) mengerek suku bunga 4 bulan beruntun.

Di awal bulan ini RBA menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,85%, yang merupakan level tertinggi dalam 6 tahun terakhir. Kenaikan suku bunga dalam 4 bulan beruntun menjadi yang paling agresif sejak awal 1990.

Indonesia juga patut waspada dengan kenaikan inflasi, terutama jika bahan bakar minyak (BBM) Pertalite pada akhirnya dinaikkan.

Pada tahun 2014 lalu misalnya, saat harga BBM dinaikkan pada bulan November rupiah terus mengalami pelemahan. Pemerintah saat itu menaikkan harga BBM sebesar 30% yang memicu kenaikan inflasi sebesar 8,36% (yoy).

Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy).

Tingginya inflasi tersebut membuat perekonomian menjadi gelap. Daya beli masyarakat bisa tergerus. Sedangkan, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi, yakni sekitar 54%.

Alhasil, kenaikan inflasi pada 2014 memicu pelambatan ekonomi. Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94%year-on-year(YoY). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia mayoritas di bawah 5%.

Di tahun depan, risiko tersebut menjadi salah satu yang harus diantisipasi. Apalagi ditambah dengan risiko resesi di Negara Barat, tentunya tantangan bagi perekonomian Indonesia semakin berat.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 2023, Jerman-Inggris Diprediksi Akan Resesi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular