
Help! Rupiah Merosot 5 Hari Beruntun, Ini Biang Keroknya

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (22/8/2022). Dengan demikian, rupiah sudah tidak pernah menguat dalam 5 hari perdagangan beruntun. Sepanjang pekan lalu, Mata Uang Garuda sudah merosot lebih dari 1%.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung melemah 0,1% dan semakin membengkak hingga nyaris menyentuh Rp 14.900/US$, atau merosot 0,37%.
Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.885/US$, melemah 0,34% di pasar spot.
Biang kerok pelemahan adalah isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite.
Pemerintah diisukan akan mengumumkan kenaikan tersebut di pekan ini. Hal tersebut disinyalkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
"Minggu depan Presiden akan mengumumkan terkait apa dan bagaimana mengenai harga BBM ini. Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena harga BBM kita jauh lebih murah di kawasan Asia ini, dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," ungkap Menko Luhut dalam Kuliah Umum Menko Marves di Universitas Hasanudin dikutip Minggu (21/8/2022).
"Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena harga BBM kita jauh lebih murah di kawasan Asia ini, dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," tambahnya.
Jika harga Pertalite dinaikkan, maka inflasi di Indonesia kemungkinan akan melesat. Saat inflasi semakin meninggi, maka nilai tukar mata uang semakin tergerus. Rupiah pun tertekan.
Pada tahun 2014 lalu misalnya, saat harga BBM dinaikkan pada bulan November rupiah terus mengalami pelemahan. Pemerintah saat itu menaikkan harga BBM sebesar 30% yang memicu kenaikan inflasi sebesar 8,36% (yoy).
Di akhir Oktober 2014, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Agustus. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.
Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).
Selain itu, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Selasa besok yang bisa menjadi penggerak rupiah. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan sebagian besar lembaga/institusi memproyeksikan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,5%.
Dari 12 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, 10 memproyeksi BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,50%. Dua lainnya memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 3,75% pada bulan ini.
Suku bunga acuan sebesar 3,5% sudah berlaku sejak Februari 2021 atau 18 bulan terakhir.
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan inflasi inti dan stabilitas rupiah masih terkendali. Kondisi ini menjadi modal bagi BI dalam mempertahankan suku bunga acuan pada bulan ini.
"Data inflasi inti dan pergerakan rupiah cenderung masih dalam appetite BI," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.
Meski demikian, jika Pertalite dinaikkan, maka ada kemungkinan BI akan menaikkan suku bunga guna meredam inflasi.
Irman mengatakan kenaikan suku bunga BI akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah terkait energi. Jika pemerintah menaikkan harga Pertalite maka hal tersebut bisa mengubah arah kebijakan BI.
"Kemungkinan bulan depan BI baru menyesuaikan jika inflasi inti naik di atas 3% atau Pertalite jadi dinaikkan oleh pemerintah," ujarnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
