Mayoritas Bursa Asia Dibuka Memerah, Nikkei Ambles 1,4%

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
18 August 2022 08:49
A man walks past an electronic stock board showing Japan's Nikkei 225 index at a securities firm in Tokyo Wednesday, Dec. 11, 2019. (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Foto: Bursa Jepang (Nikkei). (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka melemah pada perdagangan Kamis (18/8/2022), menyusul koreksinya bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kemarin setelah dirilisnya hasil rapat dari bank sentral AS. Hanya indeks Straits Times Singapura yang dibuka di zona hijau pada hari ini, yakni menguat 0,19%.

Sedangkan sisanya dibuka di zona merah. Indeks Nikkei Jepang dibuka ambles 1,42%, Hang Seng Hong Kong turun tipis 0,02%, Shanghai Composite China melemah 0,27%, ASX 200 Australia terkoreksi 0,6%, dan KOSPI Korea Selatan merosot 1,12%.

Kerugian mulai dirasakan di seluruh industri mulai dari ritel hingga pertambangan. Produsen batubara Australia Whitehaven Coal, bagaimanapun terus menonjol, di mana harga sahamnya mencatatkan kenaikan 3,5% di awal perdagangan.

Perusahaan diuntungkan dari lonjakan harga batu bara yang telah meningkat sejak tahun lalu seiring dengan dibukanya ekonomi global untuk bisnis.

Di lain sisi, perusahaan teknologi China, Tencent membukukan penurunan penjualan kuartalan pertamanya. Perusahaan mengatakan pendapatannya dirugikan oleh kurangnya persetujuan game dan peraturan yang membatasi waktu bermain, penguncian pandemi Covid-19 dan ekonomi yang masih lemah dan merusak penjualan iklan Tencent.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung melemah terjadi menyusul koreksinya bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Rabu kemarin, setelah keluarnya risalah pertemuan the Federal Open Market Committee (FOMC).

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,5% ke posisi 33.980,32, S&P 500 merosot 0,72% ke 4.274,04 dan Nasdaq Composite ambles 1,25% menjadi 12.938,12. Pasar bereaksi negatif karena risalah FOMC memberi sinyal bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tidak akan menurunkan kebijakan agresifnya.

Risalah tersebut juga menunjukkan jika pejabat The Fed belum melihat sinyal kuat dari pelemahan inflasi meskipun inflasi sudah melandai ke 8,5% (year-on-year/yoy) pada Juli, dari sebelumnya pada Juni lalu sebesar 9,1%.

"Partisipan (FOMC) sepakat hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan jika tekanan inflasi mereda. Inflasi harus direspon dengan pengetatan moneter. Partisipan berkomitmen untuk mengembalikan inflasi ke target sasaran di kisaran 2%," tulis risalah FOMC.

Dalam risalah yang keluar pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed tidak memberi petunjuk khusus berapa mereka akan menaikkan suku bunga dalam pertemuan September mendatang. The Fed hanya mengatakan jika mereka akan tetap memonitor dengan dekat data-data ekonomi sebelum membuat kebijakan.

Pelaku pasar pun kemudian berekspektasi jika The Fed akan membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk menekan inflasi, Artinya, kenaikan suku bunga agresif masih sangat mungkin terjadi.

Pelaku pasar kini memperkirakan The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bp) pada September, meskipun kenaikan sebesar 75 bp juga masih terbuka. Sebagai catatan, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 bp menjadi 2,25% hingga 2,5% sepanjang tahun ini.

"Kebijakan The Fed masih akan hawkish. Ada kemungkinan mereka akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada September. Namun, kenaikan sebesar 75 bps juga sangat terbuka," tutur ekonom Spartan Capital Securities Peter Cardillo, kepada Reuters.

Semula, pasar berkekspektasi The Fed akan menurunkan sikap hawkishnya, terutama setelah data inflasi AS menunjukan perbaikan. Selain inflasi, kepercayaan konsumen AS juga sudah merangkak naik.

Namun, data penjualan yang dirilis kemarin menunjukkan penjualan ritel bergerak flat pada Juli.

Berdasarkan data yang dirilis Bureau of Labor Statistics, penjualan ritel Negeri Paman Sam tercatat mendatar akibat penurunan harga bensin. Data tersebut di bawah ekspektasi survei Dow Jones yang berekspektasi nai 0,1%.

Mendatarnya data penjualan ritel AS disebabkan turunnya penjualan bahan bakar di SPBU, penjualan kendaraan bermotor dan dealer suku cadang, dan penjualan baju di department store.

Namun, terjadi peningkatan 2,7% dalam penjualan online dan kenaikan 1,5% di toko lain-lain.

"Tidak heran jika bursa AS turun. Sebelum ini, ekspektasi melandainya kebijakan the Fed telah meningkatkan optimisme pasar dan membuat saham naik. Kini dengan kenyataan the Fed masih agresif, maka rally berakhir," tutur Chris Larkin, managing director E-Trade Financial, seperti dikutip dari CNBC International.

Larkin mengingatkan volatilitas belum akan berakhir dalam waktu dekat. Menurutnya, apa yang terjadi pada hari ini baru menjadi permulaan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular