
Sssttt, Harga Minyak Kayaknya Bakal Nanjak!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pembukaan kembali ekonomi beserta peralihan energi karena pasokan gas yang langka meningkatkan permintaan minyak global.
Harga gas alam dan listrik melonjak ke rekor baru mendorong peralihan energi dari gas ke minyak di beberapa negara seperti yang terjadi di Eropa kala embargo pasokan gas dari Rusia. Termasuk adanya pergantian bahan bakar yang terjadi di industri Benua Biru tersebut.
Sementara di kawasan Asia dan Timur Tengah banyak negara mengalami gelombang panas terik membuat permintaan minyak makin tumbuh solid.
Badan Energi Dunia (IEA) memperkirakan permintaan minyak mentah global pada 2022 akan naik sebesar 2,1 juta barel per hari (mb/d) menjadi 99,7 juta mb/d. Sementara untuk 2023, IEA memproyeksikan permintaan minyak mentah akan bertumbuh menjadi 101,8 mb/d.
Meskipun permintaan diramal bertumbuh, pasokan minyak global diperkirakan tetap akan naik. Ditambah kekhawatiran atas memburuknya prospek ekonomi, membuat harga turun dari puncaknya pada Juni di US123,58 per barel untuk jenis brent dan US$122,11 per barel untuk jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI).
Pada Jumat (12/8/2022) pukul 11:16 WIB harga minyak jenis brent tercatat US$99,17 per barel dan WTI di US$93,9 per barel.
![]() |
Pasokan minyak dunia telah mencapai level tertinggi sejak pra-pandemi pada Juli di 100,5 mb/d. Penyebabnya dibukanya kembali kilang di Laut Utara, Kanada, dan Kazakhstan setelah agenda pemeliharaan. Sementara OPEC+ berhasil meningkatkan total produksi sebesar 530 ribu barel per hari (kb/d), sejalan dengan target. Kemudian produksi dari anggota non-OPEC+ pun turut naik sebesar 870 kb/d.
Meskipun demikian, gangguan pasokan tetap ada karena sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia. Ekspor minyak ke Eropa, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Korea turun hampir 2,2 mb/d. Ruang kosong akibat embargo minyak tersebut diisi oleh pengiriman minyak Rusia ke India, China, dan Turki.
Secara total, ekspor minyak Rusia turun 115 kb/d pada Juli menjadi 7,4 mb/d dari sekitar 8 mb/d pada awal tahun. Ini membuat pendapatan ekspor Rusia turun dari US$21 miliar pada Juni menjadi US$19 miliar pada Juli.
Wajar saja sebab Eropa adalah pasar terbesar ekspor Rusia yang mencakup 52,6% dari total ekspor minyak Rusia.
Adapun penurunan produksi minyak dari Rusia kala serangan ke Ukraina. Pada Juli produksi minyak Rusia hanya 310 kb/d. Sementara total ekspor minyak Rusia turun 580 kb/d.
IEA berpandangan embargo yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap minyak mentah dan impor produk Rusia yang mulai berlaku penuh Februari 2023 diperkirakan akan menghasilkan penurunan lebih lanjut.
"Karena sekitar 1 mb/d produk dan 1,3 mb/d minyak mentah harus mencari rumah baru," tulis IEA dalam laporannya.
Di sisi lain, aliansi produsen minyak OPEC+ setuju pada awal Agustus untuk menaikkan target pasokannya sebesar 100 kb/d pada September. Angka tersebut lebih rendah dari kenaikan produksi yang dipatok pada Juli dan Agustus sebesar 648 kb/d.
OPEC+ mencatat bahwa kapasitas cadangan "sangat terbatas" harus digunakan dengan "sangat hati-hati dalam menanggapi gangguan pasokan yang parah", menunjukkan bahwa peningkatan produksi OPEC+ yang substansial tidak mungkin terjadi dalam beberapa bulan mendatang.
IEA mengatakan ada potensi reli harga minyak lebih lanjut melihat masih besarnya gangguan pasokan.
"Dengan pasokan yang semakin berisiko terhadap gangguan, reli harga lainnya tidak dapat dikecualikan," kata IEA.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Breaking News: China Bikin Harga Minyak Melesat Nyaris 2%
