
Bursa Asia Ditutup Berjatuhan, STI Menghijau Sendirian

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup melemah pada perdagangan Rabu (10/8/2022), karena investor mencerna data inflasi China sembari menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS).
Hanya indeks Straits Times Singapura yang ditutup di zona hijau pada perdagangan hari ini. Indeks saham Negeri Singa tersebut ditutup menguat 0,37% ke posisi 3.283,07.
Sedangkan sisanya ditutup terkoreksi. Indeks Hang Seng Hong Kong menjadi yang paling parah koreksinya yakni ambles nyaris 2%, atau tepatnya 1,96% ke posisi 19.610,84.
Sementara untuk indeks Nikkei Jepang ditutup melemah 0,65% ke 27.819,33, Shanghai Composite China terkoreksi 0,54% ke 3.230,02, ASX 200 Australia terpangkas 0,53% ke 6.992,7, KOSPI Korea Selatan merosot 0,9% ke 2.480,88, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terdepresiasi 0,23% menjadi 7.086,236.
Dari China, inflasi dari sisi konsumen (IHK) pada periode Juli 2022 tercatat meningkat. Biro Statistik Nasional (NBS) China melaporkan IHK kembali berada di 2,7% (year-on-year/yoy) pada Juli 2022, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang 2,5% (yoy) sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juli 2020. Mengutip dari China Morning Post, kenaikan inflasi pada Juli ini dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan seperti daging babi serta sayuran.
Harga makanan di China naik 6,3% dari tahun sebelumnya, sementara secara bulanan naik 2,9% jika dibandingkan dengan Juni. Sementara harga non-pangan tumbuh sebesar 1,9% secara bulanan, dan naik 2,5% secara tahunan.
Tak hanya IHK saja yang sudah mulai meninggi, inflasi dari sisi produsen (producer price index/PPI) China pada bulan lalu juga sudah mulai meninggi. PPI Negeri Panda pada bulan lalu melonjak menjadi 4,1% secara tahunan.
Namun, inflasi sepertinya belum menjadi fokus utama pemerintahan China. Fokus Beijing saat ini masih pada upaya untuk menahan laju Covid-19 varian Omicron serta menstabilkan pertumbuhan ekonomi.
Perdana Menteri China, Li Keqiang sebelumnya mengisyaratkan toleransi yang lebih tinggi terhadap inflasi tahun ini, karena Beijing berupaya menstabilkan ekonomi dalam menghadapi berbagai tantangan mulai dari risiko resesi global hingga ketidakpastian geopolitik.
Bulan lalu, Bank sentral China (People Bank of China/PBoC) masih memutuskan untuk mempertahankan suku bunga satu tahun di level 3,7%. Level tersebut sudah bertahan sejak Februari 2022.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi China melambat pada kuartal II-2022, secara tahunan PDB China pada kuartal II-2022 hanya tumbuh 0,4%, jauh dari ekspektasi konsensus pasar yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi China bisa mencapai 1%.
Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal II-2022 yang mencapai 0,4% tersebut jauh di bawah pertumbuhan pada kuartal I-2022 yang mencapai 4,8%.
Angka itu juga menjadi yang terendah sejak kontraksi sebesar 6,8% pada kuartal I-2020 akibat meledaknya kasus Covid-19 yang memaksa pemerintah memberlakukan penguncian wilayah (lockdown). Pemerintah China juga memberlakukan lockdown pada sejumlah wilayah, termasuk pusat bisnisnya, Shanghai, selama 2 bulan.
Setelah merespons data inflasi China yang mulai meninggi, investor di Asia-Pasifik juga cenderung wait and see menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS).
IHK Negeri Paman Sam diprediksi akan sedikit menurun karena penurunan harga minyak mentah dunia dan akan memberikan sinyal mengenai langkah selanjutnya dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Pasar memprediksi IHK Negeri Paman Sam akan melandai menjadi 8,7%, dari sebelumnya pada Juni lalu di 9,1%.
Jika tingkat inflasi turun di bawah perkiraan, maka prospek kenaikan 75 bp kemungkinan akan menurun dan investor di aset berisiko akan merespons secara positif.
Namun sebaliknya, jika IHK AS tumbuh di atas ekspektasi konsensus pasar di angka 8,7%, maka aset berisiko kemungkinan akan mengalami koreksi karena ekspektasi pasar bahwa The Fed akan melanjutkan kenaikan suku bunganya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
