Ekonomi RI di Atas Ekspektasi, Investor Tetap Memburu SBN

Jakarta, CNBCÂ Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Jumat (5/8/2022) akhir pekan ini, meski ekonomi Indonesia pada kuartal II-2022 tumbuh positif.
Mayoritas investor ramai memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor SBN. Hanya SBN berjangka panjang yakni tenor 30 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 30 tahun menguat 5,8 basis poin (bp) ke level 7,409% pada hari ini.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali melandai 7,2 bp menjadi 7,143%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Yield SBN yang menurun sejatinya menjadi pertanda bahwa sentimen pasar cenderung mengarah negatif, sehingga investor memburunya. Tetapi pada hari ini, sejatinya sentimen pasar cenderung positif, terutama di dalam negeri setelah dirilis data pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2022.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II-2022 tumbuh 5,44% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau year-on-year (yoy). Sedangkan dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq), ekonomi tumbuh 3,72%.
"Pertumbuhan ekonomi secara qtq 3,72% dan yoy sebesar 5,44%," ungkap Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Jumat (5/8/2022) pagi hari ini.
Realisasi tersebut bahkan lebih tinggi dari polling Reuters sebesar 5,13% (yoy).
Margo menyebut pertumbuhan ekonomi yang impresif itu ditopang oleh perkembangan harga komoditas. Peningkatan harga komoditas menyebabkan Indonesia menikmati surplus neraca perdagangan US$ 15,55 miliar pada kuartal II-2022.
"Indonesia mendapatkan windfall dan harga komoditas di pasar global," ujar Margo.
Selain itu, Hari Raya Idulfitri juga memicu peningkatan konsumsi masyarakat yang merupakan kontributor terbesar PDB. Di kuartal II lalu, pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 5,51% dengan distribusi ke PDB 51,47%.
Selanjutnya adalah pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tumbuh 3,07% atau distribusi 27,31% dan ekspor tumbuh 19,74% atau distribusi 24,6%.
Secara umum suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika PDB mengalami kontraksi dalam dua kuartal beruntun secara tahunan. Dengan PDB Indonesia yang masih tumbuh, bahkan lebih tinggi lagi, resesi tentunya semakin jauh dari Tanah Air.
Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) terpantau bergerak menguat pada perdagangan pagi hari ini waktu setempat, jelang rilis data ketenagakerjaan AS periode Juli 2022.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun menanjak 3,2 bp ke posisi 3,069% pada hari ini pukul 07:05 waktu setempat, dari sebelumnya pada perdagangan Kamis kemarin di 3,037%.
Sedangkan untuk yield Treasury tenor 10 tahun yang merupakan acuan obligasi negara AS juga meningkat 2,8 bp ke 2,952% pada hari ini, dari sebelumnya pada perdagangan kemarin di 2,933%.
Investor di Negeri Paman Sam pada hari ini menanti rilis data ketenagakerjaan AS periode bulan lalu pada malam nanti waktu Indonesia.
Berdasarkan konsensus yang dihimpun Reuters, perekonomian Negeri Paman Sam pada Juli diperkirakan menciptakan 230.000 lapangan kerja non-pertanian (non-farming payroll/NFP).
Angka ini jauh lebih sedikit ketimbang bulan sebelumnya yakni 372.000. Jika terwujud, maka akan jadi yang terendah sejak Desember 2020.
Kondisi ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang memburuk ini bisa membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan cenderung lebih dovish. Ke depan, bisa saja Ketua The Fed, Jerome Powell dan sejawat akan mengurangi agresivitas kenaikan suku bunga acuan.
Inflasi AS memang tinggi, bahkan menyentuh rekor yang tertinggi dalam lebih dari empat dekade. Namun tidak hanya menjaga inflasi, The Fed juga diberi mandat lain yaitu mengawal penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya (maximum employment).
Kenaikan suku bunga acuan mungkin bisa meredam inflasi. Saat suku bunga tinggi, maka ekspansi rumah tangga dan dunia usaha akan tertahan. Ini membuat permintaan berkurang sehingga tekanan inflasi mereda.
Di sisi lain, kenaikan suku bunga bisa menjadi tidak kondusif bagi penciptaan lapangan kerja. Saat dunia usaha sulit melakukan ekspansi karena terbentur bunga mahal, maka penciptaan lapangan kerja tentu lebih terbatas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi
