Bukan Resesi, Ini Bisa Membuat Kedigdayaan Dolar AS Luntur!

Jakarta, CNBC Indonesia - Keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS) sepertinya masih akan belum luntur dalam waktu dekat. Sebabnya, bank sentral AS (The Fed) yang masih akan terus menaikkan suku bunga acuannya sampai inflasi melandai.
Survei yang dilakukan pada periode 1 - 3 Agustus menunjukkan sebanyak 40 dari 56 analis menyatakan dolar saat ini belum mencapai puncaknya.
Kemudian, survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 14 analis melihat puncak penguatan dolar AS akan dicapai dalam 3 bulan ke depan, 19 analis menyatakan dalam 6 bulan. 6 analis bahkan menyatakan puncaknya penguatan dolar AS baru akan terjadi satu tahun ke depan, dan satu analis menyatakan dalam 2 tahun.
Maklum saja, The Fed menjadi bank sentral yang paling terdepan dalam menaikkan suku bunga. Sepanjang tahun ini bank sentral di bawah pimpinan Jerome Powell ini sudah 4 kali menaikkan suku bunga dengan total 225 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%.
The Fed masih akan melakukan rapat kebijakan moneter 3 kali lagi di tahun ini, dan suku bunga masih akan terus dinaikkan.
Bahkan, tahun depan The Fed juga berencana menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali lagi.
Amerika Serikat saat ini sudah mengalami resesi jika melihat kontraksi produk domestik bruto (PDB) yang mengalami kontraksi dua kuartal beruntun.
Pada kuartal II-2022 lalu, PDB AS mengalami kontraksi atau tumbuh negatif 0,9%. Di kuartal sebelumnya kontraksi tercatat sebesar 1,6%.
Meski demikian, banyak yang mengatakan Amerika Serikat tidak mengalami resesi, termasuk Presiden Joe Biden.
"Ada begitu banyak omongan dari (pelaku pasar) Wall Street dan pengamat mengenai apakah kita tengah resesi. Dalam pandangan saya, kami tidak dalam keadaan resesi," tutur Biden, seperti dikutip dari CNN International.
The Fed juga belum menunjukkan kecemasan akan perekonomian AS, terutama akibat pasar tenaga kerja yang masih kuat.
Mantan ekonom The Fed Claudia Sahm mengatakan AS memang belum memasuki resesi meskipun secara teknikal sudah masuk resesi.
Sahm mengatakan ada sejumlah indikator penting yang tidak dipenuhi untuk mengatakan AS sudah masuk resesi.
"Ada banyak indikator untuk mengukur mulai dari konsumsi melandai, orang kehilangan pekerjaan, menurunnya investasi, dan sektor industri yang terus melemah. Sejumlah indikator memang ada yang terpenuhi tetapi tidak semua,"tuturnya kepada TIME.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen telah membantah negerinya mengalami resesi. Menurutnya, fakta bahwa AS masih mampu menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 400.000 per bulan adalah bukti bahwa AS tidak tengah dalam kondisi resesi.
"Resesi, adalah pelemahan ekonomi kita yang luas yang mencakup PHK besar-besaran, penutupan bisnis, ketegangan dalam keuangan rumah tangga dan perlambatan aktivitas sektor swasta," tegas Yellen dimuat CNBC International,Jumat (29/7/2022).
Selama pasar tenaga kerja AS kuat, selama itu juga The Fed masih akan agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi. Dolar AS juga masih akan digdaya.
Tetapi, beda ceritanya jika The Fed lebih cemas terhadap perekonomian ketimbang inflasi, maka saat itu artinya agresivitas kenaikan suku bunga akan mengendur, dan dolar AS diramal akan melemah.
"Agar dolar AS melemah, The Fed harus lebih khawatir terhadap pertumbuhan ekonomi ketimbang inflasi, dan kita masih belum berada di situ," kata Michalis Rousakis, ahli strategi valuta asing G10 di Bank of America Securities, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (4/8/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Amerika Bakal Resesi, Investor Kok Malah Borong Dolar AS?
(pap/pap)