Awas! Isu China Bisa Bikin Pasar Finansial RI Babak Belur
Jakarta, CNBC Indonesia - Awal Agustus bisa menjadi hari yang kurang baik bagi pasar finansial Indonesia, pasalnya ada kabar kurang sedap dari China. Minggu (31/7/2022) kemarin, Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS) melaporkan sektor manufaktur China mengalami kontraksi di bulan Juli, hal ini tentunya bisa berdampak ke pergerakan pasar finansial pada perdagangan Senin (1/8/2022).
Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China pada Juli dilaporkan sebesar 49, turun dari bulan sebelumnya 50,2, sementara survei dari Reuters memprediksi kenaikan menjadi 50,4.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.
Sub-indeks untuk output, pesanan baru serta tenaga kerja semuanya dilaporkan mengalami kontraksi.
"Tingkat kemakmuran ekonomi China telah menurun, fondasi untuk pemulihan masih membutuhkan konsolidasi," kata ahli statistik senior NBS, Zhao Qinghe sebagaimana dilansir CNBC International.
China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, konsumen komoditas terbesar dan pasar ekspor utama Indonesia. Tingginya harga komoditas menjadi faktor yang membuat fundamental Indonesia saat ini cukup kuat.
Neraca perdagangan mencatat surplus 26 bulan beruntun, yang membuat transaksi berjalan juga surplus. Pasokan devisa menjadi besar yang membuat nilai tukar rupiah menjadi cukup stabil, tidak mengalami pelemahan tajam seperti mata uang di kawasan Asia lainnya.
Selain itu, pemerintah diperkirakan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp 420 triliun pada tahun ini karena lonjakan harga komoditas. Kenaikan tersebut digunakan untuk subsidi energi sehingga harga BBM Pertalite dan gas tiga kilogram tidak dinaikkan, yang bisa menjadi inflasi di dalam negeri tidak terlalu tinggi.
Namun, ketika sektor manufaktur China mengalami kontraksi, maka bisa menjadi indikasi permintaan yang menurun. Apalagi jika kontraksinya terjadi dengan berkelanjutan atau selama berbulan-bulan, tentunya permintaan komoditas akan menurun.
"Durian runtuh" yang selama ini dinikmati Indonesia berisiko mengalami penurunan, dan tentunya berdampak ke neraca perdagangan hingga penerimaan negara. Pasar finansial Indonesia bisa merespon negatif lebih awal.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)